berbagi pengetahuan tentang Islam diakhir zaman.بِـسْـمِ اللهِ

Premium Blogger Themes - Starting From $10
#Post Title #Post Title #Post Title

Saudaraku, Koreksilah Pergaulanmu

Penulis : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah

Sebagai jalan hidup dan agama yang mengemban misi rahmatan lil ‘alamin, Islam tentu mengatur kaidah bermuamalah atau bergaul bagi pemeluknya. Baik itu terhadap sesama muslim maupun pemeluk agama lain. Tidak mengentengkan yakni tidak tenggelam dalam budaya toleransi yang menjebak, namun juga tidak berlebihan semisal melakukan tindak anarkis.

Tentu bukan hal aneh lagi jika kita menjumpai bermacam-macam warna dan perilaku dalam kehidupan masyarakat kita. Ini terjadi dengan sebab yang beragam. Terkadang dilatarbelakangi lingkungan, masyarakat, pergaulan, teman-teman, dan sebagainya. Semuanya ini menuntut agar kita bisa memosisikan syariat sebagai landasan pergaulan sehingga bisa merangkul semua perbedaan tersebut dengan cara menyingkirkan sesuatu yang tidak ada syariatnya dan mengokohkan yang ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ironinya, perbedaan itu selama ini justru dijadikan sebuah kebanggaan sebagai bentuk keangkuhan dan kesombongan. Bahkan ada yang sudah dijadikan sebagai ajaran yang harus dianut oleh setiap orang. Akhirnya setiap seruan yang mengajak kepada adab dan akhlak Islami menjadi sebuah seruan yang tidak berarti. Atau jika ada orang yang mempraktikkan adab bergaul yang Islami justru dicibir, dianggap aneh dan asing, bahkan dilekati tuduhan yang bukan-bukan. Atau divonis sebagai orang yang melakukan pengrusakan dan kehancuran sebagaimana igauan Fir’aun menanggapi akhlak dan perilaku serta dakwah Nabi Musa ‘alaihissalam:

وَقَالَ فِرْعَوْنُ ذَرُوْنِي أَقْتُلْ مُوْسَى وَلْيَدْعُ رَبَّهُ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُبَدِّلَ دِيْنَكُمْ أَوْ أَنْ يُظْهِرَ فِي اْلأَرْضِ الْفَسَادَ

“Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya): ‘Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabbnya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi’.” (Ghafir: 26)

Igauan pengikut Fir’aun juga menimpa Nabi Harun ‘alaihissalam, saudara Musa ‘alaihissalam:

قَالُوا إِنْ هَذَانِ لَسَاحِرَانِ يُرِيْدَانِ أَنْ يُخْرِجَاكُمْ مِنْ أَرْضِكُمْ بِسِحْرِهِمَا وَيَذْهَبَا بِطَرِيْقَتِكُمُ الْمُثْلَى

“Mereka berkata: ‘Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kalian dari negeri kalian dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kalian yang utama’.” (Thaha: 63)

Bahkan kaum munafiqin berusaha cuci tangan dari perbuatan mereka yang jelas-jelas rusak dengan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang melakukan perbaikan.

وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ

“Dan bila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi’. Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan’.” (Al-Baqarah: 11) [Lihat kitab Hadzihi Da’watuna wa ‘Aqidatuna karya Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu hal. 11]

Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan agar setiap orang berakhlak di hadapan manusia dengan akhlak yang mulia.

وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Dan berakhlaklah kamu kepada manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. At-Tirmidzi no. 1988 dari sahabat Abu Dzar Jundub bin Junadah radhiyallahu 'anhu dan Abu Abdurrahman Mu’adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu dalam Shahihul Jami’ no. 96)

Bahkan berbudi pekerti yang baik merupakan tonggak dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ

“Sesungguhnya aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan budi pekerti.” (HR. Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam Musnad beliau, 2/318, dan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Al-Adabul Mufrad no. 273, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

Bahkan permasalahan budi pekerti inilah yang diwanti-wanti oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada dakwah rasul-Nya:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)

Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi-Nya Musa dan Harun ‘alaihimassalam menghadapi sejahat-jahat manusia di permukaan bumi ini, yaitu Fir’aun, dengan penuh kelemahlembutan.

فَقُوْلاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 44)

Manusia Dalam Hidup

Bersikap dan menyikapi manusia serta bergaul bersama mereka membutuhkan ilmu yang dalam tentang syariat, karena manusia memiliki ragam agama dan aliran serta memiliki ragam perangai dan tabiat. Untuk memudahkan kita dalam pembahasan tentang hal bergaul dengan manusia, secara umum kita mengklasifikasikan mereka menjadi dua golongan:

Pertama: Kafir

Kedua: Muslim

Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita cara bergaul dan bermuamalah bersama mereka, baik yang kafir atau yang muslim. Hal ini menunjukkan kesempurnaan Islam dan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi semesta alam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)

Sehingga tidak ada lagi alasan untuk salah dalam bergaul bersama mereka, baik yang beriman ataupun yang ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena hujjah telah tegak, malamnya bagaikan siangnya (telah demikian jelas).

لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَا مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ وَإِنَّ اللهَ لَسَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Anfal: 42)

Bergaul dengan Orang-Orang Kafir

Dengan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya, Dia telah membimbing bagaimana semestinya bergaul bersama orang-orang kafir yang berbeda agama. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan segala perkara yang merupakan ciri hidup mereka, berikut bentuk kedengkian mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Semuanya ini memiliki hikmah agar kaum mukminin selalu berada di atas kemuliaan pada agamanya, sehingga agama orang-orang kafir rendah dan hina.

Belakangan ini kita tidak bisa memilah antara orang-orang muslim dan kafir dalam banyak perkara. Bahkan perkara yang merupakan prinsip agama, yaitu masalah al-wala` (loyalitas) dan al-bara` (berlepas diri), telah menjadi sesuatu yang pudar dalam kehidupan beragama kaum muslimin.

Merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk berpegang dengan prinsip-prinsip aqidah Islamiyah dengan cara berloyalitas terhadap pemeluknya dan memusuhi musuh-musuhnya, mencintai ahli tauhid dan berloyalitas kepadanya, benci terhadap ahli syirik dan memusuhinya. Hal ini termasuk millah Ibrahim dan orang-orang yang beriman bersamanya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kita untuk mencontoh mereka sebagaimana dalam firman-Nya:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ

“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian untuk selama-lamanya, sampai kalian beriman kepada Allah saja’.” (Al-Mumtahanah: 4)

Dan prinsip ini merupakan agama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Al-Ma`idah: 51) [Lihat Al-Wala` wal Bara` karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan hal. 4)

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan dalam banyak hal dan membongkar kedengkian serta kebencian orang-orang kafir terhadap Islam dan kaum muslimin. Seperti dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُوْنَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُوْنَ الرَّسُوْلَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللهِ رَبِّكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuh kalian menjadi teman-teman setia yang kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang. Padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepada kalian, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kalian karena kalian beriman kepada Allah Rabb kalian.” (Al-Mumtahanah: 1)

يَا َيُّهَا الَّذِيْنَ آَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian ambil orang-orang yang di luar kalangan kalian menjadi teman kepercayaan kalian, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagi kalian. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kalian. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepada kalian ayat-ayat (Kami), jika kalian memahaminya.” (Ali ‘Imran: 118)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang konsep hidup mereka terhadap Islam dan kaum muslimin yang penuh dengan kedengkian serta niat jahat. Maka, tidak pantas seorang muslim menjadikan mereka sebagai sahabat di dalam hidup dan teman bergaul sehari-hari.

Di antara sikap-sikap yang diajarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang kafir adalah sebagai berikut:

1. Tidak menyerupai mereka dalam semua perkara, terlebih dalam masalah aqidah dan ibadah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan masalah ini dalam sebuah sabda beliau:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, niscaya dia termasuk dari mereka.” (HR. Al-Imam Ahmad dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma)

2. Larangan menyerupai mereka dalam seluruh perkara, seperti menyerupai mereka dalam pakaian khas mereka, adat/kebiasaan, ibadah, dan akhlak. Seperti mencukur jenggot, memanjangkan kumis, berbicara dengan bahasa mereka tanpa ada keperluan/hajat, cara berpakaian, makan, minum dan sebagainya.

3. Tidak bertempat tinggal di negeri mereka atau pergi ke negeri mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam orang-orang yang tidak mau meninggalkan negeri orang-orang kafir padahal mereka sanggup untuk melakukan hal itu dalam firman-Nya:

إِنَّ الَّذِيْنَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيْمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِي اْلأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيْهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا. إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيْعُوْنَ حِيْلَةً وَلاَ يَهْتَدُوْنَ سَبِيْلاً

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)’ Para malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (An-Nisa`: 97-98)

Yang dimaksud dengan orang yang menganiaya diri sendiri di sini ialah muslimin Makkah yang tidak mau hijrah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal mereka sanggup melakukannya. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir ikut bersama mereka pergi ke perang Badr. Akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan itu.

4. Tidak membela mereka dengan mendukung segala permusuhannya terhadap Islam dan kaum muslimin. Membela mereka dengan cara demikian atau sampai ke martabat ini termasuk yang akan mengeluarkannya dari Islam. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu menyebutkan di antara sepuluh pembatal keislaman adalah membela orang-orang kafir dalam memerangi kaum muslimin.

5. Tidak meminta bantuan kepada mereka, memercayai mereka, dan menyerahkan posisi strategis yang menyangkut rahasia kaum muslimin.

Dan banyak lagi cara berhubungan serta bergaul yang bertentangan dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kesimpulannya berujung pada meletakkan wala` (loyalitas) sebagaimana kita berikan kepada saudara kita sesama muslim.

Bergaul dengan Orang-Orang Islam

Berteman karena agama adalah sebuah anjuran, dan mencari teman yang baik adalah sebuah perintah. Sementara berteman dengan orang yang tidak baik justru akan membahayakan bagi diri dan agamanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan dalam masalah ini dalam firman-Nya:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)

فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلاَّ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. ذَلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اهْتَدَى

“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak menginginkan kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (An-Najm: 29-30)

Untuk lebih jelasnya serta agar bisa mendudukkan tuntunan agama dalam bermualah bersama mereka, kita klasifikasikan kaum muslimin menjadi beberapa golongan. Ini (bukan kondisi yang memang harus diterima apa adanya, namun) semata-mata mendekatkan kepada pemahaman.

Pertama: Golongan orang-orang yang benar-benar beriman

Orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya, memiliki kedudukan yang tinggi di sisi-Nya dan mendapatkan nama yang harum. Sungguh betapa banyak ayat-ayat Al-Qur`an yang menjelaskan pujian Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap mereka dan mengangkat kedudukan mereka yang tinggi.

إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (Al-Bayyinah: 7)

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11)

وَالْعَصْرِ. إِنَّ اْلإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Al-’Ashr: 1-3)

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mu`minun: 1-6)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan kedudukan mereka yang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentunya bergaul bersama mereka dengan pergaulan yang penuh kasih sayang dan cinta, menganggap mereka sebagai saudara dalam agama dan aqidah sekalipun berbeda nasab, berjauhan negeri, dan berbeda zaman. Hal ini dipertegas olah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

وَالَّذِيْنَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَحِيْمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (Al-Hasyr: 10)

مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang di antara mereka.” (Al-Fath: 29)

Menganggap mereka adalah saudara dan berusaha mendamaikan bila terjadi perselisihan di antara mereka.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudara kalian itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kalian mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Perumpamaan persaudaraan orang-orang yang beriman bagaikan sebuah bangunan yang sebagiannya menguatkan yang lain.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim no. 2585 dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu)

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ

“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta dan berkasih sayang, mereka bagaikan satu jasad yang bila salah satu anggota badannya sakit, seluruh jasadnya merasakan sakit panas dan berjaga.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim no. 2586 dari sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu 'anhuma)

Juga sebagai bentuk penerapan pergaulan kita bersama mereka adalah berloyalitas kepada mereka secara sempurna:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَالَّذِيْنَ آمَنُوا الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُوْنَ

“Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (Al-Ma`idah: 55)

Kedua: Golongan Orang-orang yang Bermaksiat

Teman sangat memengaruhi baik tidaknya agama seseorang dan berpengaruh pula terhadap kebahagiaan dunia dan akhirat. Kisah kematian Abu Thalib paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim tentu bukanlah rahasia lagi. Diceritakan bahwa dia memilih tetap bersama agama nenek moyangnya, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di samping ranjang kematiannya mentalqin kalimat Laa ilaha illallah. Ini dikarenakan mengultuskan ajaran nenek moyang dan salah dalam memilih teman bergaul. (Lihat Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu)

Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar kita berhati-hati dalam mencari teman.

الْمَرْءُ عَلىَ دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang sesuai dengan agama/adat kebiasaan temannya, maka lihatlah teman bergaulnya.” (HR. Abu Dawud no. 4833 dan At-Tirmidzi no. 2379 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَالسُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَناَفِخِ الْكِيْرِ

“Perumpamaan teman yang baik dan jelek adalah seperti berteman dengan penjual minyak wangi dan tukang pandai besi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim no. 2628 dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu)

Ada dua atau tiga kemungkinan bagimu jika engkau berteman dengan tukang minyak wangi. (Pertama) engkau membeli wewangian darinya sehingga engkau menjadi wangi, (kedua) dia memberimu, atau (ketiga) engkau mencium bau yang harum. Sebaliknya jika engkau berteman dengan tukang pandai besi hanya ada dua kemungkinan: dia akan membakar pakaianmu dengan percikan api tersebut, atau engkau mencium bau yang tak sedap.

Orang yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berada dalam murka Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentunya jangan dijadikan sebagai teman hidup kecuali dalam batasan agama, seperti mendakwahi mereka dan mengajak untuk meninggalkan kebiasaan mereka yang jelek. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ادْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)

Ketiga: Golongan Orang-orang Awam

Orang awam membutuhkan bantuan orang-orang alim untuk mengajari mereka bimbingan agama. Bukan untuk dihakimi dan divonis bila melakukan kesalahan di atas kejahilan/keawaman mereka. Namun untuk diingatkan dan dibimbing ke jalan yang benar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama itu adalah nasihat.” Mereka berkata: “Bagi siapa, ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “Bagi Allah, bagi kitab-kitab-Nya, bagi rasul-rasul-Nya, bagi pemimpin kaum muslimin dan orang umum mereka.” (HR. Muslim no. 55 dari sahabat Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallahu 'anhu)

Bila kita salah meletakkan sikap terhadap mereka, dikhawatirkan mereka menjauh dari kebenaran bahkan fobi terhadapnya. Bila hal itu terjadi karena diri kita, akan menyebabkan kita terjatuh di dalam dosa, sebagaimana telah diperingatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu dan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu: “Berilah mereka kabar gembira dan jangan engkau menyebabkan mereka lari (dari kebenaran).”

Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri meletakkan hukum khusus bagi mereka, sebagaimana di dalam firman-Nya:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلاً

“Dan kami tidak akan mengadzab sebelum kami mengutus seorang rasul.” (Al-Isra`: 15)

Asy-Syaukani rahimahullahu di dalam tafsir beliau berkata: “Allah tidak akan mengadzab hamba-Nya kecuali setelah tegak hujjah dengan diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa Dia tidak membiarkan mereka hidup sia-sia dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menyiksa mereka melainkan setelah tegak hujjah atas mereka. Dan pendapat yang rajih adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengadzab mereka di dunia ataupun di akhirat, kecuali setelah diutusnya para rasul kepada mereka. Demikianlah yang dikatakan oleh sebagian ahli ilmu.” (Fathul Qadir, hal. 956)

Namun orang-orang awam tersebut akan keluar dari hukum khusus di atas apabila keawamannya tersebut disebabkan tiga perkara:

Pertama: Disebabkan istikbar (menyombongkan diri) dengan tidak mau mempelajari kebenaran atau sombong di hadapan kebenaran, maka kejahilan yang disebabkan hal ini tidak akan diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bila dia terjatuh dalam kemaksiatan karenanya.

Kedua: Disebabkan tafrith (mengentengkan dan meremehkan) pengajaran ilmu agama yang benar sehingga tidak mau mempelajarinya terlebih mengamalkannya.

Ketiga: Disebabkan i’radh (berpaling) dari mempelajari ilmu agama sehingga bila dia terjatuh dalam penyelisihan karena kejahilannya, maka tidak akan dimaafkan. (lihat faidah dalam syarah Kasyfus Subhat)

Bergaul bersama mereka dalam tiga sebab kejahilan ini harus ekstra hati-hati dan harus menjauhkan diri dari mereka, karena mereka tidak akan mendatangkan kebaikan sedikitpun bagi agama. Dalam bergaul bersama orang yang benar-benar awam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi uswatun hasanah dalam hal ini. Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu mengisahkan:

بَالَ أَعْرَابِيٌّ فِي الْمَسْجِدِ فَقَامَ النَّاسُ إِلَيْهِ لِيَقَعُوا فِيْهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ: دَعُوْهُ وَأَهْرِقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوْبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مَعَسِّرِيْنَ

Dari Abu Hurairah berkata: Seorang Badui kencing di masjid, lalu orang-orang bangkit untuk memukulnya (dalam riwayat yang lain mereka menghardiknya). Rasulullah berkata: “Biarkan dia, tuangkan air di atas kencingnya atau satu ember dari air karena sesungguhnya kalian diutus sebagai pemberi kemudahan bukan memberikan kesulitan.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul Adab)

Keempat: Golongan Ahli Bid’ah dan orang yang terjatuh padanya

Kita memaklumi bahwa kemaksiatan yang paling besar setelah dosa kufur dan syirik adalah kebid’ahan di dalam agama. Sebuah kemaksiatan yang paling dicintai dan disukai oleh iblis. Hal ini ditegaskan oleh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu: “Sesungguhnya kebid’ahan amat sangat disenangi oleh iblis daripada perbuatan maksiat. Karena (orang yang melakukan) perbuatan bid’ah tidak akan (kecil kemungkinan) bertaubat darinya. Sedangkan kemaksiatan akan (memungkinkan pelakunya) bertaubat darinya.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan, makna pernyataan bahwa kebid’ahan tidak akan diberi taubat, karena seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) menjadikan sesuatu yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya sebagai agama. Dan kebid’ahan itu telah dihiasi dengan kejelekan amalannya sehingga nampaknya baik. Tentunya dia tidak akan bertaubat selama dia menganggap perbuatannya adalah baik, karena awal dari pintu bertaubat adalah mengetahui tentang kejelekan tersebut.” (At-Tuhfatul ‘Iraqiyyah, hal. 7)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dari perbuatan yang disukai iblis ini sebelum terjadinya, dalam banyak sabdanya. Di antaranya:

وَإِيَّاكُمْ وُمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Dan berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru dalam agama, dan setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan itu sesat.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dan At-Tirmidzi no. 2678 dan selain beliau berdua dari sahabat ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu 'anhu. Dan disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbatul hajah dalam riwayat Al-Imam Muslim dari sahabat Jabir radhiyallahu 'anhu)

Tentang pelakunya, beliau telah memperingatkan dengan tegas dan keras sebagaimana ucapan beliau tentang Khawarij. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Dari keturunan orang ini muncul suatu kaum yang mereka membaca Al-Qur`an namun tidak sampai tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari sasarannya. Mereka membunuh orang-orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Jika saya menjumpai mereka, akan saya perangi mereka sebagaimana Allah memerangi kaum ‘Ad.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu)

Dalam kesempatan yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di mana saja kalian menjumpai mereka maka bunuhlah mereka, karena membunuh mereka mendapatkan pahala bagi pembunuhnya pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat ‘Ali radhiyallahu 'anhu)

Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa membunuh mereka maka dialah orang yang paling utama di sisi Allah.” (HR. Abu Dawud no. 4765 dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu dan Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu)

Dalam kesempatan yang lain beliau bersabda: “Berbahagialah orang yang membunuh mereka dan terbunuh oleh mereka.” (HR. Abu Dawud no. 4765 dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu)

Dalam kesempatan yang lain beliau bersabda: “(Mereka adalah) sejelek-jelek orang yang terbunuh di bawah kolong langit.” (HR. Ahmad no. 19172 dari sahabat Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu 'anhu)

Tidak termasuk seorang yang benar imannya jika dia menganggap banyak perkara syariat yang belum disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak termasuk berjalan di atas jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika kita bergandengan tangan dengan ahli bid’ah dan duduk bersamanya dalam satu majelis.

Para ulama salaf telah mengajarkan kita sikap bergaul yang baik dengan ahli bid’ah.

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mendengar ucapan ahli bid’ah maka dia telah keluar dari pemeliharaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dia dilimpahkan kepada kebid’ahan tersebut.”

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu berkata: “Barangsiapa duduk bersama ahli bid’ah maka dia tidak akan diberikan hikmah.” Beliau juga berkata: “Jangan kalian duduk bersama ahli bid’ah karena aku takut laknat menimpamu.“ Beliau berkata pula: “Barangsiapa mencintai ahli bid’ah maka telah batal amalannya dan telah keluar cahaya Islam dari dalam hatinya.” Beliau berkata juga: “Barangsiapa yang duduk bersama ahli bid’ah di sebuah jalan (dan kamu lewat di majelis tersebut) maka hendaklah kamu mengambil jalan yang lain.”

Beliau juga berkata: “Barangsiapa memuliakan ahli bid’ah berarti dia telah membantunya untuk menghancurkan Islam. Barangsiapa memberikan senyumnya kepada ahli bid’ah maka sungguh dia telah menyepelekan apa yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang menikahkan anaknya bersama ahli bid’ah maka sungguh dia telah memutuskan hubungan kekeluargaan. Dan barangsiapa yang mengikuti jenazah ahli bid’ah maka dia terus berada dalam murka Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai dia kembali.”

Bahkan beliau berkata: “Aku bisa saja makan bersama seorang Yahudi dan Nasrani, namun aku tidak akan makan bersama ahli bid’ah. Aku senang bila ada benteng dari besi antara diriku dengan ahli bida’h.” (Lihat Syarhus Sunnah, Al-Imam Al-Barbahari rahimahullahu hal. 137-139)

Adapun mereka yang terjatuh dalam kebid’ahan dalam keadaan tidak mengetahui itu adalah sebuah kebid’ahan dalam agama, kita berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah kepada mereka dan memaafkan kesalahan mereka. Sikap kita kepada mereka adalah sebagaimana sikap kita terhadap orang yang awam, yang butuh diselamatkan dan diajak kepada jalan yang benar.

Terkadang seseorang tergiur dengan sebuah penampilan sunnah seperti pakaian sunnah, jenggot sunnah, ‘imamah sunnah, dan sebagainya. Namun apalah artinya jika engkau menampilkan sunnah sementara engkau tidak berjalan di atas jalan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Engkau tidak beraqidah di atas aqidah beliau, engkau tidak beribadah sesuai dengan tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebagainya. Butuh alat pembanding dan penilai, itulah kebenaran. Oleh karena itu “kenalilah kebenaran, engkau akan mengenal pemeluk kebenaran.”

Wallahu a‘lam bish-­shawab.
[ Read More ]

Al Ghazali dan Tiga Kategori Orang Yang Berpuasa

Ada kelompok, yang puasanya tergolong ‘khususul khusus’. Mereka tak menyisakan sedikitpun ruang, kecuali mengingat Allah dan  pertanyaan kali ini SUDAH berapa kali Anda berpuasa Ramadhan? Dan apa hasil puasa Anda selama itu? Dibandingkan dengan hikmah dan fadhilah yang ditawarkan Ramadhan, rasanya terlalu sedikit yang telah kita capai. Revolusi kejiwaan yang semestinya terjadi setelah kita berpuasa sebulan penuh hingga puluhan kali Ramadhan masih juga belum kunjung tercapai. Yang terjadi justru hanyalah rutinitas tahunan: siang hari menahan diri dari lapar dan dahaga, selebihnya tidak terjadi apa-apa.

Imam Al-Ghazali mengelompokkan kaum muslimin yang berpuasa dalam tiga kategori.


 Pertama, mereka yang dikelompokkan sebagai orang awam. Kelompok ini berpuasa tidak lebih dari sekadar menahan lapar, haus, dan hubungan seksual di siang hari Ramadhan. Sesuai dengan namanya, sebagian besar kaum muslimin berada dalam kelompok ini.

Kelompok kedua adalah mereka yang selain menahan lapar, haus dan hubungan suami isteri di siang hari, mereka juga menjaga lisan, mata, telinga, hidung, dan anggota tubuh lainnya dari segala perbuatan maksiat dan sia-sia. Mereka menjaga lisannya dari berkata bohong, kotor, kasar, dan segala perkataan yang bisa menyakiti hati orang. Mereka juga menjaga lisannya dari perbuatan tercela lainnya, seperti ghibah, mengadu domba, dan memfitnah. Mereka hanya berkata yang baik dan benar atau diam saja.


Dikisahkan dalam kitab Ihya-ulumuddin, bahwa pada masa Rasulullah saw ada dua orang wanita. Pada suatu hari di bulan Ramadhan, saat mereka sedang berpuasa, rasa lapar dan haus tak tertahankan lagi hingga hamper-hampir saja menyebabkan keduanya pingsan. Maka diutuslah seorang pria untuk menghadap Rasulullah saw untuk menanyakan, apakah mereka boleh membatalkan puasanya. Rasulullah saw tidak langsung memberi jawaban, akan tetapi beliau justru mengirimkan sebuah mangkok, kemudian berpesan kepada utusan tersebut: “Muntahkan ke dalam mangkok ini apa yang telah dimakan”.


Peristiwa ini nampaknya mengundang perhatian banyak orang. Mereka yang menyaksikan peristiwa itu sangat terkesima melihat salah seorang wanita itu memuntahkan darah segar dan daging lunak sebanyak setengah mangkok, wanita satunya lagi pun memuntahkan hal yang sama hingga mangkok tersebut menjadi penuh. Setelah itu Rasulullah bersabda: “Dua perempuan tadi telah merasakan apa yang oleh Allah dihalalkan bagi mereka dan telah membatalkan puasa mereka dengan melakukan hal-hal yang dilarang Tuhan. Mereka telah duduk bersama dan bergunjing. Darah dan daging segar yang mereka muntahkan adalah darah segar orang yang telah mereka gunjingkan”.


Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda: Ada lima perkara yang membatalkan puasa, yaitu: berbohong, bergunjing, memfitnah, mengucapkan sumpah palsu, dan memandang dengan nafsu”.

Kelompok kedua ini juga bisa menjaga mata dari melihat segala sesuatu yang dilarang syari’at. Matanya tidak dibiarkan liar memandang aurat perempuan atau lelaki yang tidak halal, baik secara langsung, maupun melalui tontonan televisi, gambar dan foto. Mereka sadar bahwa mata adalah panahnya setan, jika dibiarkan liar maka mata itu bisa membidik apa saja dan nafsu manusia cenderung membenarkan dan mengikutinya. Tentang bahaya pandangan ini, Rasulullah mengingatkan: “Pengaruh ketajaman mata adalah hak. Bila ada sesuatu yang mendahului taqdir maka itu adalah karena pengaruh ketajaman mata”. (HR. Muslim)


Tak kalah pentingnya adalah menjaga telinga dari mendengar segala sesuatu yang menjurus kepada maksiyat. Mereka yang termasuk kelompok ini tidak akan asyik duduk bersama orang-orang yang terlibat dalam perbincangan yang sia-sia. Termasuk perbuatan sia-sia adalah mendengar lagu-lagu yang syairnya tidak mengantarkannya pada mengenal kebesaran Allah. Mereka juga meninggalkan percakapan penyiar dan penyair yang menghambur-hamburkan kata tanpa makna.


Mereka segera meninggalkan orang yang sedang ghibah, apalagi memfitnah, karena mereka sadar bahwa orang yang mengghibah dengan orang yang mendengar ghibah itu sama nilai dosanya. Maka alternatifnya hanya dua, yaitu mengingatkan atau meninggalkan majelis tersebut.

Dalam hal ini Allah berfirman: “Maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka”. (QS. An-Nisaa: 140)


Di bulan Ramadhan, kelompok ini juga menutup telinganya rapat-rapat dari segala suara yang dapat mengganggu konsentrasinya dalam mengingat Allah. Sebaliknya, mereka membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengar ayat-ayat suci al-Qur’an, mendengar majelis ta’lim, mendengar kalimat-kalimat thayibah, dan mendengar nasehat-nasehat agama. Ketekunan dan kesibukan menyimak kebaikan dengan sendirinya akan mengurangi kecendrungan mendengar sesuatu yang sia-sia, apalagi yang merusak nilai ibadahnya.


Selebihnya, mereka juga menjaga tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuhnya dari segala yang dilarang syari’ah. Mereka menjaga tangannya dari memegang sesuatu yang tak halal. Mereka juga mengendalikan kakinya dari melangkah ke tempat yang haram. Demikian juga terhadap perutnya, mereka menjaga agar perutnya hanya diisi makanan yang halal saja. Baik ketika sahur maupun pada saat berbuka puasa.


Dalam pandangan Islam, makanan haram itu sama dengan racun, sedangkan makanan halal itu adalah obat, jika diminum sesuai dengan porsi dan dosis yang tepat. Tapi jika jika dikonsumsi secara berlebihan, maka makanan itu bisa berubah menjdai racun yang sangat membahayakan kesehatan tubuh. Itulah sebabnya, orang-orang yang berpuasa secara benar terlatih untuk hanya memakan makanan dan minuman yang halal saja. Itupun dalam takaran dan dosis yang normal, tidak berlebih-lebihan. Mereka tidak akan berbuka puasa dengan cara makan dan minum berlebih-lebihan.

Jika kaum muslimin berpuasa seperti puasanya kelompok yang kedua ini, sungguh akan terjadi perubahan sosial yang luar biasa. Antara sebelum dan sesudah Ramadhan pasti ada perubahan sikap, perilaku, dan tindakan yang khas. Jika perubahan itu dilakukan oleh sebuah masyarakat yang hidup dalam sebuah Negara yang bernama Indonesia, maka revolusi moral pasti terjadi secara nyata.

Tak perlu dibentuk Komisi Anti Korupsi, karena sudah tidak ada lagi pelakunya.


Sayang, untuk target minimal tersebut kita masih belum bisa melakukannya. Akibatnya, antara sebelum dan sesudah puasa tidak terjadi apa-apa. Yang sebelum Ramadhan merokok, sesudah puasa kembali merokok. Bila sebelum puasa korupsi, sesudah puasa, praktek itu diulangi kembali. Padahal jika target menjadi kelompok kedua ini tercapai, separoh permasalahan Negara dan bangsa bisa diatasi. Apalagi jika kita bisa mencapai target yang lebih tinggi, menjadi kelompok ketiga.


Adapun kelompok ketiga, menurut Al-Ghazali adalah mereka yang berada dalam kategori khususul khusus atau al-Khawwas. Mereka tidak saja menjaga telinga, mata, lisan, tangan, dan kaki dari segala yang menjurus pada maksiyat kepada Allah, akan tetapi mereka juga menjaga hatinya dari selain mengingat Allah. Mereka mengisi rongga hatinya hanya untuk mengingat Allah semata-mata. Mereka tidak menyisakan ruang sedikitpun dalam hatinya untuk urusan duniawi. Mereka benar-benar mengontrol hatinya dari segala detakan niat yang menjurus pada urusan duniawi.


sumber [hidayatullah.com]
[ Read More ]

Solusi Islam dalam Mengatasi Kasus ''Ariel''

(VOA-SLAM.NET)

ASSALAMUALAIKUM WAROHMATULLAHI WABAROKATUH.

Dalam kajian hari ini izinkanlah saya menyampaikan materi dengan tema : Tanda Kiamat “Zina dianggap Halal.”Salah satu kabar berita yang mencemarkan nama baik Indonesia yang sebagian Besar umatnya adalah Muslim yaitu tersebarnya berita video porno yang diperankan oleh vokalis band peterpan/peterporn yaitu aril dan artis perusak moral lainnya yaitu luna maya dan cut tari.

Kasus video porno dengan peran yang diduga Ariel "Peterporno, Luna Maya dan Cut Tari masih hangat dibicarakan. Bahkan, pengaruh negatif dari tontonan yang beritanya sengaja dipublikasikan secara besar-besaran oleh media juga telah menuai hasil. Seperti yang diberitakan oleh beberapa media, di Surabaya dua orang siswa SD dan SMP ramai-ramai mencabuli siswi SD usai menonton video zina ‘Ariel-Luna-Cut Tari.’ Dan akhirnya, dua bocah ingusan tersebut ditangkap petugas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polwiltabes Surabaya. Dan masih banyak lagi kasus-kasus pencabulan oleh anak sekolah dibawah umur yang tidak pantas didengar oleh telinga umat muslim. Dan sampai saat ini lebih dari 30 kasus Pencabulan oleh anak-anak dibawah umur diberitakan karena dampak dari video maksiat tersebut, yang belum terekspos media mungkin bisa lebih banyak lagi…. Naudzubillah. Saudaraku Umat muslimin yang dirohmati Alloh inilah moral bangsa kita sekarang, mungkin memang sudah akan waktunya zaman berakhir hal ini terungkap dari banyak berbagai tanda-tanda kiamat kecil yang akan menuju tanda kiamat besar . Inikah Generasi penerus bangsa yang didambakan umat Muslim…??, anak-anak ingusan sudah melakukan perbuatan Zina karena pengaruh buruk perkembangan media teknologi yang justru malah memberi dampak Negatif. Dari itulah kita sebagai umat Muslim wajib mengingatkan dan membimbing untuk selalu waspada dan tetap berjalan diatas syariat agama, dan juga selaku orang tua sebaiknya memberi perhatian dan pengawasan penuh kepada anak agar anak-anak kita tidak terjerumus kedalam salah satu perbuatan Dosa besar tersebut. Dampak dari perkembangan teknologi semisal Televisi, Ponsel , Internet dan sebagainya malah justru akan membawa dampak yang lebih buruk lagi jika kita tidak peduli dan akhirnya akan terjadi kerusakan moral dimana-mana sehingga tentu saja kiamatlah akhirnya. Dari televisi misalnya,; banyak artis-artis iklan dengan tanpa malunya memperlihatkan aurotnya demi popularitas yang tidak berguna, acara sinetron justru malah mendidik Negaitf seperti mengajarkan pacaran, cinta-cinta-an, tern-tren-nan jaman sekarang alias ikut-ikutan gaya orang barat yang membuat kotor pikiran masyarakat apalagi kaum pelajar yang masih membutuhkan bimbingan dan arahan, tentu saja itu berpengaruh pada pola pikir dan perkembangan moral anak-anak, dari dampak teknologi Hp atau internet dampak negatifnya mungkin lebih parah lagi, yaitu disebutkan diatas yaitu internet dan ponsel canggih sebagai media penyebaran Video porno yang paling menyedot korban paling banyak seperti pepatah “sekali merengkuh satu pulau terlampaui” alias sangat cepatnya menyebar .

Dalam Islam perzinaan merupakan perbuatan yang sangat keji dan hina, akal sehat dan fitrah manusia juga memiliki pandangan serupa. Zina adalah jalan yang buruk dan sangat tercela untuk melampiaskan nafsu syahwat, serupa dengan binatang yang tidak mengenal pernikahan. Perbuatan zina merupakan dosa besar yang merusak hak Allah, hak wanita, keluarganya, suaminya, merusak hubungan keluarga orang, membuat rancu tali penasaban, dan masih banyak kerusakan lainnya yang diakibatkan perzinaan.
Untuk mengatasi kerusakan besar akibat zina ini, Islam hadir dengan ajarannya yang suci dan sesuai fitrah dengan mengharamkan zina. Bahkan untuk melakukan hal-hal yang mengarah ke sana, Islam telah mengantisipasi, mencegah dan mengharamkannya. Sebagaimana larangan Islam mengumbar pandangan mata dan memerintahkan untuk menundukkannya dari memandang lawan jenis yang bukan suami dan mahramnya, termasuk di dalamnya memelototi tontonan porno seperti video mesum "Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari".

Islam juga melarang khalwat, yaitu menyendirinya seorang laki-laki dengan wanita yang bukan istri atau mahramnya di tempat sepi yang tidak dilihat orang banyak, baik disertai nafsu syahwat ataupun tidak. Ditakutkan, syetan akan menggoda keduanya untuk melakukan sesuatu yang haram. Dan pacaran banyak dijalani anak muda sekarang masuk dalam kategori ini.
Islam juga melarang khalwat, yaitu menyendirinya seorang laki-laki dengan wanita yang bukan istri atau mahramnya di tempat sepi yang tidak dilihat orang banyak, baik disertai nafsu syahwat ataupun tidak.

Islam juga melarang ikhtilath (bercampur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat) dan melarang wanita keluar rumah dengan menggunakan wewangian. Sekaligus juga Islam memerintahkan adanya pakaian wanita yang syar'i, meminimalisir pembicaraan dengan lawan jenis sesuai dengan kebutuhan, tidak memerdukukan dan menghaluskan perkataan ketika bercakap dengan lawan jenisnya. Semua ini sebagai tindakan prefentif agar tidak terjerumus ke dalam fitnah zina. Dalam hal ini Allah berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra': 32)

Ancaman Bagi Pelaku Zina

Islam telah menyiapkan ancaman siksa yang pedih di akhirat bagi pezina. Allah Ta'ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا

"Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan hal demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.” (QS. Al-Furqaan: 68-69).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menjelaskan berat dan dahsyatnya siksa zina di alam kubur. Dari Samurah bin Jundub radliyallah 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Semalam aku bermimpi, ada dua orang datang kepadaku. Lalu mereka membawaku ke Baitul Maqdis. Beliau terus berbicara hingga sampai pada sabdanya, "Kami pergi ke sebuah lobang seperti tungku, atasnya sempit sedangkan bawahnya lebar. Di bawahnya ada api yang menyala. Ketika api itu membumbung, mereka juga ikut terangkat sehingga hampir mereka keluar. Dan ketika api itu redup, mereka kembali ke tempatnya. Di dalamnya berisikan wanita dan laki-laki telanjang." Dan pada akhir riwayat dijelaskan, bahwa laki-laki dan wanita telanjang tersebut adalah para pelaku zina." (HR. Bukhari)

Adapun ancaman di dunia, Islam menyiapkan hukuman pedih dan ngeri bagi siapa yang sudah terbukti dan ditetapkan telah melakukan zina. Hukuman ini disebut dengan hadd (bentuknya pluralnya: hudud) yang berorientasi bukan semata-mata untuk menghukum, namun juga untuk mendidik dan menyucikan pelaku dari dosa-dosa. Keberadaan hukum hudud akan menjamin keamanan darah, kehormatan, dan harta masyarakat.

Hukum hudud bagi pezina ada dua macam, yaitu rajam dan cambuk 100 kali ditambah diasingkan selama setahun. Pelaksanaanya dengan disaksikan sekelompok orang beriman. Dan semakin banyak yang menyaksikan semakin baik sebagai shock terapi bagi masyarakat.
Hukuman rajam diberlakukan bagi pezina muhshan, yaitu pezina yang pernah menikah. Dia dikubur setelangah badan, lalu dilempari batu hingga meninggal. Hukuam rajam telah ditetapkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam secara mutawatir dan telah menjadi ijma' (kesepakatan) para sahabat dan tabi'in.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallah 'anhu berkata, "Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berada di masjid, ada seseorang yang datang kepada beliau. Dia memanggil Rasulullah dan berkata, "Ya Rasulullah, sungguh aku telah berzina," Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpaling darinya, sehingga dia mengulangi pernyataannya tersebut sampai empat kali. Ketika dia bersaksi atas dirinya sebanyak empat kali, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memanggilnya dan bertanya, "Apakah kamu gila?" dia menjawab, "tidak." Beliau bertanya lagi, "Apakah kamu pernah menikah?" dia menjawab, "Ya." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Bawalah dia pergi dan rajamlah!" (Muttafaq 'alaih)

Selain terhadap Maiz, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga pernah memberlakukannya kepada seorang wanita Ghamidiyah dan dua orang Yahudi yang terlaknat. Kisah-kisah ini telah disebutkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya pada Kitab al-Hudud.

Dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma berkata, "Umar berkata, 'Aku khawatir dengan panjangnya rentang masa yang dilalui manusia, akan ada seseorang yang mengatakan, kami tidak mendapatkan hukum rajam dalam Al-Qur'an, lalu mereka sesat karena meninggalkan kewajiban yang telah Allah turunkan. Ketahuilah bahwa rajam adalah benar (wajib) atas orang yang telah berzina dan telah pernah menikah, apabila ditegakkan bukti, atau terjadi kehamilan atau karena pengakuan." Sufyan berkata, "Begitulah aku menghafalnya, ketahuilah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah merajam dan kami pernah melakukannya sesudah beliau wafat." (HR. Bukhari)

"Aku khawatir dengan panjangnya rentang masa yang dilalui manusia, akan ada seseorang yang mengatakan, kami tidak mendapatkan hukum rajam dalam Al-Qur'an," kata Umar bin Khathab.
Sedangkan hukuman cambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun dijatuhkan bagi pezina yang belum menikah, yaitu bujangan dan gadis. Hukuman ini dinashkan langsung oleh Al-Qur'an,

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera." (QS. Al-Nuur: 2)

Dalam riwayat Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Ambillah hukum dariku, ambillah hukum dariku, Sungguh Allah telah menjadikan jalan bagi mereka, bujangan dengan gadis dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun."

Berdasarkan hadits di atas, Jumhur ulama berpendapat bahwa hukuman had zina atas bujangan adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Namun bagi pezina wanita, menurut Imam Syafi'i dan Ahmad, dia diasingkan bersama mahramnya.

Jumhur ulama berpendapat bahwa hukuman had zina atas bujangan adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun.

Siapa yang Melaksanakan Hukum Hadd?

Tidak diragukan lagi bahwa penegakkan hukum hudud adalah perintah kepada umat yang bersifat kolektif atau jama'ah yang bisa dijalankan melalui pemerintahan Islam. Keberadaan mereka menjadi syarat untuk ditegakkan hukum Islam ini, untuk menghindari kerusakan yang lebih besar jika dilaksanakan oleh masing-masing individu. Karenanya, seperti kondisi kita di Indonesia yang pemerintahnya tidak menegakkan hukum Islam, hukuman ini tidak bisa dijalankan. Oleh karena itu, pezina di negeri ini tidak bisa mendapatkan sarana yang bisa menjamin kesuciannya dari dosa zina. Karenanya, dia harus bertaubat dengan sungguh-sungguh (taubatan nasuha). Yaitu penyesalan mendalam atas apa yang telah diperbuatnya dan bertekad jika datang kesempatan serupa dia tidak akan pernah mau mengulanginya. Lalu dia memperbanyak amal ibadah, ketaatan, dan perbuatan baik. Hendaknya juga dia menjauhi tempat-tempat buruk, semacam diskotek, café remang-remang, dan tempat serupa. Dia juga dianjurkan agar menjauhi teman-teman buruk yang bisa menyeretnya kembali ke lembah hitam, (lihat Taudhih al-Ahkam, oleh Imam Al-Bassam: 5/285).

Oleh karena itu, pezina di negeri ini tidak bisa mendapatkan sarana yang bisa menjamin kesuciannya dari dosa zina. Karenanya, dia harus bertaubat dengan sungguh-sungguh (taubatan nasuha).
Semoga Allah senantiasa membimbing kepada kebenaran, menjaga kita dari segala keharaman, dan mewafatkan kita sebagai orang Islam serta mengumpulkan kita bersama Nabiyyin, shiddiqin, syuhada', dan shalihin. Sungguh mereka adalah teman yang paling baik.
[ Read More ]

TAFSIR SURAT AL-IKHLAS (MEMURNIKAN KEESAAN ALLAH)

Makkiyyah. Surat Ke 112; 4 ayat.

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
اللَّهُ الصَّمَدُ
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْوَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ


Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Surat Ini):

Imam Ahmad ?rahimahullah meriwayatkan dari Ubay bin Ka?ab ?Radhiallahu ?Anhu bahwa orang-orang musyrik berkata kepada Nabi Muhammad ?Shallallahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam: ?Wahai Muhammad sebutkanlah sifat-sifat Tuhanmu kepada kami.? Lalu Allah menurunkan surat ini.? (HR. Imam Ahmad, At-Tirmidzi dll)

Diantara Keutamaan Surat Al-Ikhlas:

Rasulullah ?Shallallahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam bersabda: ?Demi Dzat Yang jiwaku ada ditanganNya, sesungguhnya dia (surat Al-Ikhlas) sebanding sepertiga Al-Qur?an.? (HR. Bukhari dll).

Dikatakan sebanding dengan sepertiga Al-Qur?an karena kandungan Al-Qur?an ada tiga macam: Tauhid, kisah-kisah dan hukum-hukum. Dan dalam surat ini terkandung sifat-sifat Allah yang merupakan tauhid sehingga surat ini sebanding atau sama dengan sepertiga Al-Qur?an.
Dinamakan surat Al-Ikhlash karena didalamnya terkandung keikhlasan (tauhid) kepada Allah  dan dikarenakan membebaskan pembacanya dari syirik (menyekutukan Allah ).


Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Tauhid Uluhiyyah dan Larangan Menyekutukan Allah Ta?ala:

Katakanlah: ?Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, (1)

Katakanlah -wahai Muhammad Rasulullah ?Shallallahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam:?Dia-lah Allah Yang Maha Esa dalam uluhiyyah (ketuhanan) Yang tiada satupun bersekutu denganNya di dalamnya.?

Kita Butuh Allah Ta?ala Sedangkan Allah Tidak Membutuhkan Kita:

Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu. (2)

Ibnu Abbas ?Radhiallahu ?Anhuma berkata: ?Ash-Shomad adalah yang bergantung kepadaNya semua makhluk untuk mendapatkan hajat-hajat dan permintaan-permintaan mereka.?
Beliau berkata pula tentang makna Ash-Shomad : ?Dia adalah As-Sayyid (Maha Pemimpin) Yang Maha sempurna dalam kepemimpinanNya, Asy-Syariif (Maha Mulia) Yang Maha sempurna dalam kemuliaanNya, Al-?Adhiim (Maha Agung) Yang Maha sempurna dalam keagunganNya, Al-Haliim (Maha Penyantun) Yang Maha sempurna dalam kesantunanNya, Al-?Aliim (Maha Mengetahui) Yang Maha sempurna dalam pengetahuanNya dan Al-Hakiim (Maha Bijaksana) Yang Maha sempurna dalam kebijaksaanNya. Dialah Yang Maha Sempurna dalam kemuliaan dan kepemimpinan dan Dia adalah Allah, inilah sifatNya yang tidak sepatutnya kecuali untuk Dia. Tidak ada yang setara denganNya dan tidak ada pula sesuatu yang seperti Dia. Maha Suci Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan (musuh-musuhNya).?

Allah Ta?ala Tidak Mempunyai Anak dan Tidak Pula Mempunyai Bapak-Ibu:

Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, (3)

Firman Allah: ?Dia tidak beranak? adalah merupakan bantahan terhadap tiga kelompok yang menyimpang lagi tersesat, yaitu: Orang-orang musyrik, yahudi dan nasrani. Orang-orang musyrik mengatakan bahwa malaikat adalah puteri-puteri Allah, orang-orang yahudi mengatakan bahwa ?Uzair anak Allah dan orang-orang nasrani mengatakan bahwa ?Isa adalah anak Allah. Allah membantah dan mendustakan mereka dengan firmanNya: ?Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan?.
Allah adalah Al-Awwal, yang sudah ada sebelum adanya segala sesuatu bagaimana mungkin Dia menjadi anak ?!.

Allah Ta?ala Tidak Beristeri dan Dia Maha Esa Dalam Segala-galanya:

Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia?. (4)

Dan tidak ada satupun yang setara dengan Dia dalam nama-nama dan sifat-sifatNya dan tidak pula dalam semua perbuatanNya, Dia Maha Berkah, Maha Suci lagi Maha Tinggi.
Mujahid ?rahimahullah berkata: ?Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia?, yakni tidak ada isteri bagiNya.?
[ Read More ]

    close
    Banner iklan disini

    Kunjungan Anda

    Total Tayangan Halaman