berbagi pengetahuan tentang Islam diakhir zaman.بِـسْـمِ اللهِ

Premium Blogger Themes - Starting From $10
#Post Title #Post Title #Post Title

Kekeliruan dan Kesesatan Ilmu Kalam


Kekeliruan dan Kesesatan Ilmu Kalam

(Mantiq, Tasawuf, Filosofi, teologi, liberalisasi dll )

Oleh : www.ashabul-muslimin.tk

                

Mukadimah

Ilmu kalam memang ilmu yang terkesan nyeleneh. Karena mempelajari sesuatu hal diluar kemampuan akal manusia kemudian terkadang juga orang yang tidak kuat akalnya belajar ilmu ini bisa jadi gila, naudzubillah. Oleh karena itulah secara kasar saya katakan ilmu kalam ini disebut juga ilmu pengawuran. Karena terkadang mereka mengingkari sebagian al-Qur'an kemudian lebih mengambil pendapat akalnya sendiri atau barangkali mengimpor pendapat-pendapat filusuf-filusuf yunani yang sudah jelas-jelas mereka itu kaum paganisme (penyembah berhala). Sungguh tidak pantas sekali jika pendapat orang musyrik itu diambil sebagai landasan berpikir bagi kaum muslimin. Ilmu ini bisa membuat orang berbuat syirik dsb. Karena secara mendasar saja bisa dibilang yang mempelajari ilmu ini artinya menyembah akalnya sendiri secara tidak sadar, karena telah menganggap akalnya lebih unggul daripada ayat Allah SWT.

Apa yang disebut dengan ilmu kalam tidak pernah ada pada masa Nabi saw atau pada masa sahabatnya. Ilmu ini mulai muncul setelah berbagai kebudayaan asing diterjemahkan kedala bahasa arab, khususnya filsafat dan ilmu mantiq Yunani. Sebagian besar kaum muslimin yang menyibukkan diri dalam membahas  ilmu kalam tidaklah menjadi kafir akibat perbuatan tersebut. Tujuan mereka  dalam  membahas ilmu tidak lain hanya ingin menjelaskan hal- hal  yang  menyangkut  aqidah  Islam serta mempertemukan antara metode ilmu mantiq dengan apa yang mereka anggap kontroversial dari  nash-nash  syara'. Hanya  saja mereka tersesat dan menyibukkan pikiran mereka dan orang lain terhadap pembahasan-pembahasan yang akal mereka sendiri tidak sanggup menjangkaunya. Padahal langkah yang benar bagi mereka semestinya membatasi pembahasan hanya pada nash-nash syara', yaitu berdasarkan wahyu semata.

 

Munculnya Ilmu Kalam

Sepanjang masa Nabi saw, kaum muslimin hanya mempunyai satu aqidah yang sama yaitu apa yang terdapat dalam al-Quran dan apa yang sesuai dengan metode Kitabullah tersebut. Mereka hidup dimasa turunnya wahyu dan mendapat kemuliaan menjadi sahabat-sahabat rasul.       Cahaya persahabatan tersebut telah  menghilangkan kegelapan, keraguan dan khayalan. Kekuatan iman yang mereka miliki,tidak pernah menimbulkan satu pertanyaan pun yang mengandung unsur keraguan. Mereka tidak berusaha  mencari  ilmu  yang  Allah  sendiri tidak mengajarkannya kepada manusia. Merekalah yang paling baik dan tinggi martabatnya diantara umat ini.

Bahkan Rasulullah  saw sendiri  pernah memberikan kesaksian tentang kebaikan mereka ini. Karena itulah jalan yang mereka tempuh dalam membahas aqidah serta penyampaiannya lebih selamat, bijaksana dan lebih mendalam daripada metode-metode lain. Betapa tidak !? Sebab, ini merupakan metode Rasul yang berdasarkan metode al- Quran dalam membahas aqidah. Dengan metode ini orang-orang  akan  mendapatkankepuasan  jiwa,  petunjuk  yang  benar,  ilmu yang disertai keyakinan.Berkat metode tersebut, seorang muslim akan menjadi suatu potensi tenaga yang dasyat yang kemudian mendorongnya untuk menyampaikan dakwah dengan semangat. Jalan yang ditempuh dalam hal ini adalah jalan Rasul dan para sahabatnya. Abad pertama hijriyah telah berakhir  setelah dakwah Islam tersebar luas dan menguasai segenap penjuru. Islam pada waktu itu disampaikan dengan pemahaman yang cemerlang, iman yang dalam dan kesadaran yang         hebat. Akibat dari perkembangan dakwah Islam tersebut, Islam berinteraksi  dengan  peradaban  dan  agama yang dimiliki bangsa-bangsa lain yang masuk Islam. Dikarenakan         al-Quran telah mencantumkan rincian tentang aqidah Islam dan telah membeberkan aqidah-aqidah yang berlawanan dengannya, begitu pula bantahan- bantahan yang melemahkan aqidah lain. Maka sebagai    akibat interaksi ini,  timbullah pergolakan  pemikiran  antara  Islam  dengan kekufuran.  Hal  ini  merupakan  salah  satu sebabyangmendorongpemikirankaum muslimin membahas aqidah Islam dari berbagai segi. Termasuk dalam menentukan cara membela aqidah Islam dihadapan aqidah-aqidah (keyakinan) lainnya, terutama filsafat Yunani yang telah dipakai orang-orang nasrani dalam menghadapi dan menghalangi dakwah Islam. Usaha tersebut menghasilkan adanya aktivitas penterjemahan besar-besaran sehingga filsafat Yunani ini beralih dan diketahui oleh sebagian kum muslimin yang menyibukkan diri dalam aktivitas penerjemahan tersebut, yang kelak menghasilkan apa yang disebut dengan 'Ilmu Kalam' dan metode pembahasan 'Ilmu Mantiq'.

 

Metode Baru

Metode-metode ilmu kalam (mantiq) yang telah dilahirkan oleh generasi yang datang setelah sahabat (khalaf) adalah teramat jauh berbeda dengan metode sebelumnya yaitu metode sahabat (salaf). Karena metode khalaf ini telah membicarakan Dzat Allah dan berdasarkan pada metode pembahasan filosof filosof Yunani. Metode ini menjadikan akal sebagai dasar pemikiran untuk membahas segala hal tentang iman. Dalam menentukan bukti, ia berlandaskan pada ilmu mantiq dan telah mengambil sikap pertengkaran/ pertikaian untuk menghadapi para filosof dalam setiap pembahasan. Mereka juga membahas tentang apa yang tidak dapat diindera atau dijangkau tentang dzat Allah dan sifat-sifat-Nya. Dalam hal ini, mereka telah mengikuti ayat-ayat mutasyabihat yang banyak menimbulkan penakwilan, lalu bertambahlah sikap permusuhan tersebut sehingga pada akhirnya terjadi penyimpangan (fitnah) terhadap aqidah yang sebenarnya. Semua kejadian itu telah terjadi antar sesama kaum muslimin yang ikut sibuk membahas masalah ini. Bahkan sampai melibatkan sebagian dari ulama fiqih yang telah berusaha menjauhkan diri dari pembahasan ilmu kalam, malah telah memberi peringatan kepada orang-orang untuk menjauhinya, seperti yang terjadi pada Imam Ahmad ibn Hambal ra.

 

Dan begitulah sikap ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi'in. Mereka lebih banyak menyibukkan diri dengan mengamalkan Kitabullah daripada sibuk debat kusir dan berbantah-bantahan. Islam kemudian menyebar luas ke pelosok dunia. Terjadilah kemudian penaklukan-penaklukan daerah baru. Setelah itu sebagian kaum muslimin mulai terpengaruh dengan sebagian ide-ide filsafat antara lain filsafat Yunani. Akibatnya mereka terpecah menjadi banyak kelompok, firqoh dan aliran-aliran. Sehingga mereka lebih banyak sibuk dalam berdebat daripada mengamalkan Kitabullah. Hati mereka diabaikan sedangkan akal mereka diagung-agungkan sampai begitu beraninya membahas segala sesuatu (baik yang dapat dijangkau ataupun yang tidak).

 

Mereka berpikir dan membahas Dzat Allah dengan cara yang berlebihan begitu pula terhadap sifat-sifat-Nya, yang mereka bahas secara mendetail berdasarkan pertimbangan akal dan didukung dengan pendapat serta cara pemikiran para filosof sebelumnya. Padahal Allah SWT adalah Maha Pencipta yang tidak dapat dijangkau manusia. Jika manusia masih merasa dirinya lemah untuk mengetahui secara detail tentang dirinya sendiri dan apa yang ada dalam dirinya sampai sekecil-kecilnya, maka bagaimana mungkin akal manusia mampu menjangkau Dzat Allah Yang Maha Pencipta bagi alam semesta dan seisinya. Juga, Dia lah yang menguasai segala urusan yang menyangkut Dzat Allah dengan segala sifat-sifat-Nya, padahal tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur/pembanding! Satu-satunya jalan yang harus ditempuh dalam hal ini adalah dengan menjadikan firman Allah SWT tentang dzat dan sifat-sifat-Nya serta hadist Rasul yang shahih dan terbukti kebenarannya, merasuk dalam kalbu kita, lalu mengimaninya tanpa takwil dan tanpa mempersulit pembahasannya. Sebab kita tahu bahwa jika kita menakwilkan suatu ayat/hadist maka penakwilan itu sesuai dengan firman Allah/sabda Rasul atau tidak. Orang yang menakwilkan sesuatu biasanya tidak sanggup memastikannya, benar atau salah. Yang membentuk keyakinan adalah makna/lafazhlafazh zhahir (berdasarkan konteks kalimat) dari ayat/hadist, juga lafazh hakiki (makna sebenarnya( bukan yang majazi atau makna kiasan).

 

Metode yang Keliru

Setelah membahas dan mendalami metode para ulama kalam dapat kita simpulkan bahwa metode mereka adalah keliru. Metode tersebut tidak dapat membentuk iman bagi seseorang apalagi menguatkannya. Metode ini hanya menghasilkan sekedar pengetahuan tertentu, bahkan dapat dikatakan pengetahuan yang salah dan meragukan, karena merupakan pengetahuan tentang sesuatu yang tidak pernah diberitahukan kepada manusia. Juga karena panca indera kita tidak sanggup menjangkaunya. Kekeliruan metode tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek:

Pertama; metode ulama kalam dalam menentukan bukti didasarkan pada ilmu mantiq, bukan kepada penginderaan. Hal ini menjadikan seorang muslim sangat memerlukan belajar ilmu mantiq agar ia dapat membuktikan eksistensi Allah. Ini berarti bagi seorang yang belum mengetahui ilmu mantiq maka ia tidak boleh membahas aqidah Islam. Padahal islam datang pada masa dimana kaum muslimin belum mengetahui ilmu mantiq. Mereka telah mengembangkan risalah Islam dengan cara yang terbaik serta memberikan bukti-bukti yang meyakinkan terhadap segala hal yang menyangkut aqidah mereka, tanpa memerlukan pembahasan ilmu mantiq dalam menentukan bukti apapun terhadap aqidah Islam. Ini dari satu segi. Sedangkan dari segi lain metode ilmu mantiq (logika) dalam menentukan suatu bukti memungkinkan terjadinya kekeliruan dalam menarik kesimpulan.

Hal ini disebabkan oleh premis premis yang salah yang tidak didasarkan atas fakta-fakta. Berbeda halnya dengan metode berpikir yang didasarkan atas fakta-fakta yang nyata. Metode terakhir inilah yang telah digunakan oleh al-Quran dalam menentukan bukti-bukti sehingga tidak memungkinkan terjadinya suatu kekeliruan dalam berpikir. Adapun metode yang menimbulkan kekeliruan dalam berpikir, jelas tidak boleh dijadikan patokan dalam menentukan bukti bukti.

 

Merujuk Kepada Akal Dalam Masalah Ghaib.

 

Kedua: metode yang digunakan para Mutakallimin adalah dengan menjadikan akal sebagai patokan dalam membahas segala hal yang berkaitan dengan masalah iman, bahkan sampai-sampai menjadikan akal sebagai standar untuk memahami hal-hal yang ghaib pula. Mereka telah menafsirkan al-Quran berdasarkan pertimbangan akal, sehingga menyalahi dasar-dasar lainnya, seperti; mensucikan Allah secara mutlak, kebebasan dalam berkehendak, keadilan Allah dan pemilihannya yang terbaik dalam setiap keputusan/ketentuan dan sebagainya. Mereka telah merujuk kepada akal dalam menafsirkan ayat-ayat yang dari segi lahirnya dianggap kontroversial. Akal juga dijadikan sebagai standar pemutus terhadap hal-hal yang mutasyabihat. Bahkan mereka telah menakwilkan ayat-ayat yang tidak sesuai dengan pendapat yang mereka pilih. Sikap penakwilan ini selalu digunakan karena mereka bertolak dari akal, bukannya dari wahyu (al-Quran). Mereka beranggapan bahwa ayat-ayat al-Quran harus ditakwilkan dan disesuaikan dengan ketentun akal. Begitulah sikap mereka yang telah menjadikan akal sebagai patokan untuk menafsirkan al- Quran yang mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam banyak pembahasan. Jika saja mereka menjadikan al-Quran sebagai patokan untuk setiap pembahasan dan akal mereka didasarkan pada al-Quran, tentu tidak akan sampai membahas apa yang sudah mereka bahas.

 

Memang benar, iman terhadap al-Quran sebagai kalamullah (firman Allah) harus didasarkan kepada akal, yakni akal lah yang telah membuktikan kemukjizatannya. Tetapi setelah al-Quran diimani akan menjadi standar untuk mengimani segala sesuatu yang tercantum di dalam al-Quran, tanpa dipertimbangankan lagi oleh akal. Oleh karena itu jika terdapat berbagai ayat dalam al-Quran (mengenai aqidah), maka akal tidak boleh dijadikan tolok ukur kebenaran dan kesalahan makna ayat-ayat tersebut. Kita wajib merujuk hanya pada ayat-ayat al-Quran itu sendiri tanpa 'campur tangan' akal. Dalam hal ini fungsi akal hanya memahami nash-nash saja. Sayangnya para mutakallimin tidak berbuat demikian, melainkan menjadikan akal sebagai tolok ukur dalam penafsiran al-Quran. Oleh karena itu, muncullah sikap penakwilan ayat ayat al-Quran.

 Mengikuti Pendapat Para Filosof

 Ketiga: Para mutakallimin telah menjadikan sikap pertikaian dengan para filosof sebagai dasar pembahasan mereka. Misalnya, golongan mu'tazilah mengambil pendapat dari para filosof dan membantah mereka.  Golongan ahlus sunnah dan jabariyah membantah pendapat mu'tazilah juga dengan mengambil pendapat para filosof dan menentangnya. Padahal yang menjadi obyek pembahasan adalah islam, bukan sikap pertikaian para filosof maupun lainnya. Seharusnya mereka membahas apa yang terdapat pada al-Quran dan Hadist, dan

berhenti disitu tanpa melampaui batas pembahasannya, juga tanpa memperdulikan lagi pendapat siapapun. Akan tetapi mereka tidak melakukannya. Mereka malah mengalihkan aktivitas tabligh Islam dan penjelasan tentang hal-hal yang menyangkut aqidah Islam kepada perdebatan dan berbantah-bantahan. Mereka telah memadamkan kekuatan dan semangat aqidah yang merupakan pendorong jiwa manusia, mengaburkan makna aqidah sehingga menjadikannya sebagai aktifitas perdebatan belaka yang dilakukan secara terus menerus

atau sebagai keahlian tersendiri dalam ilmu kalam. Sikap mereka ini berlawanan dengan metode al-Quran yang juga pernah membantah sebagian pemikiran-pemikiran filsafat, tetapi berdasarkan suatu metode yang hanya berlandaskan kepada seruan yang difokuskan kepada akal dan fitroh manusia. Dengan demikian metode ini menjadikan setiap orang yang mendengar seruan tersebut mendapat kepastian dan meyakini apa yang dibahas oleh akal terhadap hal-hal yang dapat dijangkaunya yang menunjukkan adanya Khaliq. Disamping ia mampu membuktikan keesaan dan kekuasaan Allah. Hikmah/tujuan dari ciptaan-ciptaan dan keagungan-Nya.

Bahkan, seseorang yang sampai kepadanya  seruan al-Quran akan merasakan bahwa ia harus mendengar seruan itu dan mengikutinya sampai seorang atheis pun bisa memahami dan cenderung kepadanya.  Metode al-Quran adalah sangat sesuai untuk setiap orang, tanpa ada perbedaan antara penguasa dan rakyat, baik intelek maupun awam. Metode al-Quran sungguh telah menjadikan manusia berpikir lebih serius tentang keberadaannya di ala mini serta kelanjutannya nanti. Contoh-contoh untuk seruan tersebut antara lain firman Allah SWT:

 

"Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa." (QS. al-Hajj [22]: 73-74)

 

Juga firman Allah dalam QS. ath-Thâriq [86]: 5-8, QS. adz-Dzriyat [51]: 20-21, QS. an-Nazi'ât [79]: 27-33). Demikianlah metode al-Quran dalam menjelaskan/menetapkan kekuasaan, kehendak, ilmu dan keagungan Allah berdasarkan apa yang sesuai dengan akal dan fitrah manusia. Metode tersebut membangkitkan perasaan jiwa manusia sehingga terpengaruh dengan hasil keputusan akal yang telah membuktikan serta mengakuinya sesuai dengan hakikat fitrahnya sehingga manusia merasa puas dan terpenuhilah keinginannya dengan cara yang menimbulkan ketentraman dan ketenangan jiwa. Keluar dari Realita yang Terindera Para mutakallimin telah keluar dari realita bahkan melampaui batas hingga hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh indera manusia. Mereka membahas hal-hal di sebalik alam semesta (meta fisika). Misalnya membahas tentang Dzat Allah dan sifat-sifat- Nya yang merupakan suatu hal yang mustahil dapat dijangkau oleh indera manusia.

 

Pembahasan ini telah dikaitkan dengan pembahasan yang berhubungan dengan realita yang dapat diindera. Secara berlebihan, mereka telah menganalogkan hal yang ghaib, yaitu Allah SWT dengan alam nyata, yaitu manusia. Bahkan mereka menetapkan sifat 'keadilan' Allah SWT sama dengan keadilan menurut pandangan manusia di bumi. Mereka lupa bahwa manusia (makhluk) itu dapat dijangkau indera, sedangkan Dzat Allah tidak. Dengan demikian tidak dapat dianalogikan antara satu dengan lainnya. Mereka juga tidak menyadari bahwa keadilan Allah itu tidak dapat disamakan dengan keadilan mnusia di bumi, juga tidak boleh menundukkan Allah kepada hukum dan peraturan alam/manusia. Karena Dia-lah yang menciptakan alam, yang sekaligus mengaturnya sesuai dengan hukum-hukum yang juga Ia ciptakan. Apabila dilihat bahwa manusia dengan segala keterbatasannya memandang dan memahami keadilan dengan cara yang terbatas pula, ia akan menentukan sikap terhadap alam sekitarnya sesuai dengan pemahamannya. Tetapi apabila pandangannya meluas, pemahaman dan sikapnya tentang keadilanpun berubah juga. Lalu bagaimana mungkin manusia akan menganalogikan Rabb, Pencipta alam semesta ini, yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, lalu mereka

memandang keadilan-Nya sesuai dengan makna yang mereka kehendaki? Begitu pula halnya dengan kriteria penentuan baik dan yang terbaik bagi Allah SWT.

Ayat-Ayat Mutasyabihat

Kelima: ayat-ayat mutasyabihat yang bersifat global dan tidak memberikan pemahaman yang jelas bagi pembacanya telah turun dengan penjelasan yang umum tanpa memberi perincian. Ayat-ayat tersebut dapat berupa penjelasan tentang segala sesuatu secara garis besar atau berupa ketentuan terhadap fakta/keadaan yang kelihatannya tidak bisa dibahas, ditelaah dan dijadikan patokan sehingga pembacanya tidak bisa memalingkan diri darinya. Walaupun membahasnya, namun ia tidak dapat mengetahui hakikat tujuan makna-maknanya kecuali hanya sebatas apa yang tersurat dalam lafadz-lafadznya.  Oleh karena itu, wajarlah apabila

semuanya ditentukan sikap pasrah kepada ayat-ayat tersebut, tanpa mencari sebab-sebab (penakwilan) atau penjelasan yang lebih detail. Sebagai contoh dalam hal ini, bahwa di dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang menerangkan adanya paksaan pada perbuatan-perbuatan manusia. Sebaliknya, banyak juga yang menunjukkan adanya ikhtiyar (pilihan manusia sendiri).  Diantaranya firman Allah SWT: TQS. al- Mukmin [40]: 31, juga dalam QS. al-Insân [76]:30, QS. al-Baqarah [2]: 286, QS. al-An'âm [6]: 125. Di dalam al-Quran terdapat pula sejumlah ayat yang menyebutkan bahwa Allah memiliki wajah dan tangan, menjelaskan bahwa Dia ada di langit. Diantaranya seperti firman-Nya:

"Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?" (QS. al-Mulk [67]: 16)

juga dalam QS. ar-Rahman [55]: 27, QS. al-Fajr [89]: 22, QS. al-Maidah [5]: 64. Disamping itu terdapat ayat-ayat lain yang menetapkan sikap pensucian terhadap Allah SWT, yakni tidak boleh menyerupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya, seperti firman- Nya: TQS. asy-Syûrâ [42]: 11, QS. al-An'âm [6]: 100. Demikianlah ragam ayat al-Quran yang tersebar di berbagai segi yang Nampak adanya pertentangan (kontroversial). Ayat ayat inilah yang oleh al-Quran disebut sebagaiayat-ayat mutasyabihat.  Mengikuti Ayat-Ayat Mutasyabihat Pada waktu ayat-ayat tersebut turun, Rasulullah saw menyampaikannya kepada masyarakat, para sahabat, segera saja kaum muslimin mengimaninya. Mereka menghafal ayat-ayat tersebut di dalam lubuk hatinya dan ayat-ayat tersebut tidak menimbulkan pembahasan dan perdebatan apapun di kalangan mereka. Mereka tidak melihat adanya pertentangan apapun yang memerlukan penjelasan yang detail. Mereka memahami semua ayat sesuai dengan segi yang diterangkan dan ditetapkan oleh ayat-ayat tersebut. Ayat-ayat tersebut turun secara berangsur-angsur sesuai dengan kenyataan yang mereka alami. Mereka mengimani ayatayat tersebut, membenarkan dan memahaminya dengan pemahaman yang global dan mereka merasa cukup dengan pemahaman seperti ini. Mereka menganggap ayat-ayat tersebut sebagai penjelas bagi kenyataan atau sebagai penetapan bagi suatu hakikat. Banyak dari kalangan para ulama intelek tidak masuk pada pembahasan perincian ayat-ayat mutasyabihat ini dan tidak pula memperdebatkannya. Bahkan, dipandangnya bahwa hal tersebut bukan merupakan suatu kemaslahatan bagi Islam. Maka pemahaman makna yang bersifat global bagi setiap orang yang memahaminya sesuai dengan ukuran yang dapat dipahami, tidak perlu ia terjerumus ke dalam perincian dan bahasan yang mengada-ada. Demikianlah kaum muslimin menemukan metode al-Quran, menerima ayat-ayat-Nya dan bertindak sesuai dengan metode tersebut. Pada waktu datang golongan mutakallimin, mereka meletakkan pemahamannya terhadap ayat-ayat mutasyabihat berdasarkan pada apa yang didapatkan oleh akal mereka tentang makna ayat 'laisakamitslihi syaiun' (tidak ada sesuatu apapun yang menyamai-Nya). Mereka menjadikan pemahaman ini sebagai penentu dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat. Mereka bangun di atas pemahaman ini dasar-dasar (ushuluddin menurut mazhab mereka). Lalu membahasnya secara terperinci berdasarkan ushul pemahaman mereka tersebut. Disamping itu mereka menakwilkan segala sesuatu yang bertentangan dengan pendapatnya. Juga, mengkafirkan semua orang yang menyalahi pendapatnya. Banyak dan panjangnya pembicaraan dalam masalah ini menyebabkan timbulnya fitnah yang besar di kalangan kaum muslimin. Andai kata mereka mengembalikan masalah tersebut kepada Allah dan Rasul, niscaya mereka akan mendapatkan kebaikan yang melimpah ruah. Firman Allah SWT mengumpamakan mereka seperti dalam TQS. Ali Imran [3]: 7.

Perlu kita merenungkan sabda

Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh

muslim dari 'Aisyah ra:

"Andaikata kalian melihat orang-orang yang mengikuti apa-apa yang mutasyabihat maka mereka itu adalah orang-orang yang disebut Allah swt (dalam QS. Ali Imran diatas) maka berhati-hatilah terhadap mereka." (HR.

Muslim)

 

Hambatan Bahasa Ada yang mengatakan bahwa sebab keterlibatan dalam ilmu kalam adalah kelemahan yang menimpa otak kaum muslimin dalam memahami bahasa arab. Oleh karena itu, kata mereka, kita akan beralih dari cara para sahabat membahas aqidah pada cara-cara logika. Bukanlah satu kesalahan apabila kita tetap memertahankan sikap pensucian terhadap Allah tanpa mengingkari dan menyerupakan. Alasan mereka ini sebenarnya merupakan hujjah yang lemah. Sebab, gaya pembahasan yang dilakukan oleh para ulama kalam tidak menunjukkan bahwa bahasa merupakan salah satu hambatan dalam pemahaman aqidah secara benar, tetapi obyek bahasan yang ada pada merekalah yang menjadikannya berselisih pendapat. Sebagai contoh, apabila kita mengatakan:

'Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.'

Makna ayat ini dapat dipahami artinya dari segi bahasa, tanpa perlu menggunakan cara-cara mantiq/logika. Akan tetapi berubahnya obyek pembahasan yang dibahas dari segi Dzat Allah itulah yang mendorong munculnya metode tersebut. Apabila yang mendorong menggunakan cara-cara logika adalah benar bahasa

arab maka adalam hal ini cukuplah kita menerangkan arti bahasa untuk kata-kata yang membutuhkan penafsiran/penjelasan dan terhadap makna-makna yang belum jelas dalam benak kita maka kita terima secara pasrah tanpa membahasnya atau memperdebatkannya lagi. Tetapi nampaknya bahwa arti lughawi (bahasa) bukan merupakan sebab penakwilan dan pembahasan tentang Dzat Allah atau terlibatnya akal dalam kesesatan yang sulit baginya untuk melepaskan diri darinya kecuali dalam keadaan kalah dan tidak mendapatkan apa-apa. Tetapi, penyebab yang sesungguhnya (penakwilan dan pembicaraan mengenai dzat Allah) adalah mengikuti hawa nafsu dan tidak meneladani metode para ulama salaf. Metode yang Memecah Belah Persatuan Di antara hal-hal yang perlu diingat adalah bahwa pembahasan ulama kalam ini telah menyebabkan munculnya banyak firqah-firqah yang keluar dari Islam. Mereka termasuk dalam golongan-golongan yang disebutkan oleh rasulullah saw dalam sabdanya:

"Kaum Yahudi telah terpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan, semuanya masuk neraka. Sedangkan Kaum muslim terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan yang semuanya juga masuk neraka kecuali satu. Para sahabat bertanya: siapakah dia, ya Rasulullah? Beliau menjawab: golongan yang mengikuti aku dan para sahabatku." (Sunan Tirmidzi: 22642-2643; Sunan Abu Daud 4596-4597; Musnad Imam Ahmad no. 1024)

 

Rasulullah saw telah memberi petunjuk kita agar meneladani pola hidup beliau, serta melarang kita, umatnya menyalahi jalan tersebut. Perhatikanlah sabda Beliau dalam sebuah hadist shahih:

"Sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup (sesudahku), kelak dia akan melihat banyak perselisihan. Maka berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk.

Lalu gigitlah (peganglah) dengan gerahammu. Dan jahuilah perkara-perkara yang baru (maksudnya dalam masalah ibadah). Sesungguhnya semua perkara yang baru adalah bid'ah dn semua bid'ah (mengakibatkan seorang masuk) dalam neraka." (Sunan Abi Daud, 4607; Sunan Tirmidzi 2678; Musnad Imam Ahmad IV hal. 126-127).

 

Demikian pula diantara hal yang perlu dipegang teguh bahwa pembahasanpembahasan ini dan yang serupa dengannya akan menyebabkan berhadapannya seorang muslim melawan saudaranya yang muslim, bahkan akan mengalihkan perhatiannya hanya untuk menghadapi 'urusan dalam' kaum muslimin. Sehingga orang-orang kafir dapat mengambil kesempatan untuk melontarkan banyak perkara-perkara syubhat yang menyibukkan kaum muslimin dalam menyelesaikannya, bahkan dapat menyebabkan terhentinya kegiatan dakwah dan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu kita lihat ketika ilmu-ilmu logika mulai berkurang, bahkan lenyap dari masyarakat sangat diperhatikan dan menjadi pembahasan serius kaum orientalis. Begitu juga para teolog nasrani banyak mengarang buku-buku di bidang ini. Pembahasan ilmu kalam masih mempengaruhi sekelompok kecil umat, yang alangkah baiknya mereka tinggalkan hanya karena Allah semata, yang mereka cintai. Jika tidak, maka mereka baik sengaja ataupun tidak berarti telah mengikuti orang yang tidak  mengharapkan kebaikan bagi agama Islam ini.  Dalam kenyataannya, permasalahan ilmu kalam telah dimunculkan oleh beberapa orang nasrani yang kemudian memeluk Islam tetapi tidak ikhlas pada-Nya. Diantara hal yang menunjukkan hal ini adalah bahwa Ghailan ad-Damasyqi pada mulanya sebelum menganut Islam adalah orang Qibti (Nasrani dari Mesir). Dan dialah orang yang paling gencar menyerukan masalah qodar. Misalnya apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Qutaibah di dalam kitabnya Kitabu al-Ma'arif, hal 166:

"Ghailan ad-Damasyqi adalah orang Qibti yang tidak ada searang pun sebelumnya membicarakannya dan menyeru kepada masalah qodar kecuali Ma'bad al-Jahni. Dan Ghailan memiliki julukan Abu Marwan. Lalu ditangkap oleh Hisyam ibnu Malik (wafat pada tahun 125 H), kemudian disalib di pintu gerbang kota Damaskus."

Sebagaimana halnya dahulu, sekelompok nasrani yang masuk Islam telah membahas tentang berbagai syubhat yang mengangkut aqidah, khususnya masalah taqdir, kita akan menemukan pula bahwa sekelompok Yahudi yang masuk Islam telah menimbulkan berbagai syubhat; tentang penyerupaan dan penitisan/penjelmaan Allah swt. Untuk itu dibuatlah cerita-cerita dan riwayat palsu. Asy-Syahru Satani berkata:

"Kebanyakan berita-berita/cerita yang dibuat berkenaan dengan masalah penyerupaan Dzat Allah berasal dari Yahudi. Dan sesungguhnya sikap demikian sudah merupakan tabi'at mereka. Barangkali, Abdullah ibnu Saba' yang dahulu seorang Yahudi kemudian masuk Islam merupakan orang yang pertama kali memunculkan perkara-perkara Syubhat dan bid'ah tentang penyerupaan Allah disamping sikap ekstrim dan dan berlebih-lebihan terhadap Imam Ali bin Abi Thalib ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Abdul Qadir al-Baghdady di dalam kitabnya al-Farqu Bainal Firoq, hal 214."


 Wallahu'alam


 Sumber : Buku Kekeliruan Ilmu Kalam

Penulis: Syamsuddin Ramadhan

Cet. I, Rajab 1424 H–September 2003 M



DOWNLOAD EBOOK ISLAM


Leave a Reply

    close
    Banner iklan disini

    Kunjungan Anda

    Total Tayangan Halaman