Oleh : Azhari Akmal Tarigan (Penulis Koordinator Tim Penulis Tafsir Al-Qur'an UTS dan Dosen Fak. Syari'ah IAIN.SU Medan) Saya yakin, kerukunan antar umat beragama tidak akan pernah terwujud secara harmonis dan langgeng sepanjang tidak ada penghargaan antar sesama. Penghargaan yang saya maksud adalah penghargaan minoritas (apakah Kristen yang menjadi minoritas ataukah Islam menjadi minoritas) terhadap kelompok mayoritas. Disparitas minoritas-mayoritas tidak perlu ditutup-tutupi karena realitasnya demikian. Tidak juga salah jika minoritas – mayoritas dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan termasuk dalam pendirian rumah ibadah. Sebelum lebih jauh saya mendiskusikan tema di atas, saya ingin bercerita tentang pengalaman peribadi saya terlebih dahulu. Antara tahun 2003-2004 saya dan keluarga tinggal di Jln.****** pinggiran Kota Medan. Di depan rumah kontrakan saya terdapat sebuah Geraja yang besar dan cukup ramai. Tidak saja pada hari minggu tetapi juga pada hari-hari lainnya. Jika hari minggu, sejak pagi sampai siang hari, gereja penuh sesak dikunjungi jama'atnya. Biasanya, anak-anak jadwalnya lebih pagi dan orang dewasa jadwal ibadahnya pada siang hari. Mereka melakukan ritual dan menyanyikan lagu-lagu rohani. Sangat jelas terdengar oleh saya lagu-lagu rohani yang menembus dinding rumah saya. Apakah saya merasa terganggu ? Pada mulanya ia. Saya dan keluarga tertanggu. Anak saya yang masih berada di TK hampir hapal "lagu rohani" tersebut, setidaknya iramanya.. Bahkan beberapa kali saya menyaksikan ia bermain-main di halaman gereja bersama teman-temannya yang Muslim dan Kristen. Saya mengaku terganggu karena seumur-umur, saya tidak pernah tinggal dekat gereja. Jadi saya tidak pernah tahu bagaimana orang Kristen beribadah. Saya juga tidak pernah mendengar mereka bernyanyi. Tapi sewaktu tinggal di jln. P, saya menyaksikannya setiap minggu. Perlahan namun pasti saya akhirnya dapat "menikmati" ibadah mereka. Mendengarkan lagu-lagu pujian yang bagi saya, itulah tasbih dan zikir mereka. Saya percaya, mereka sedang beribadah yang menurut mereka itulah yang benar. Apakah saya harus protes ! Haruskah saya mengekspresikan rasa tidak senang saya ! Tentu saja tidak. Saya sadar bahwa keyakinan tidak bisa dipaksanakan, tidak juga bisa disamakan. Sama sadarnya saya, bahwa kami adalah pendatang. Tambahan lagi, jumlah muslim di daerah tersebut sedikit. Wajarlah, kendati di belakang rumah saya ada mushalla, tetapi saya tidak pernah mendengar suara Toa berdering pada waktu shubuh. Paling-paling hanya azan. Mengapa orang Islam tidak memaksakan dirinya untuk menghidupkan Toa. Jawabnya karena kita menghargai mereka yang mayoritas. Kita tidak ingin menggangu mereka. Menariknya, kehidupan di tempat tersebut cukup harmonis. Saya yang pendatang dan secara kolektif menjadi minoritas di tempat itu harus menghormati dan menghargai masyarakat sekitarnya. Inilah sunnatullahnya. Tidak ada konflik. Saya yang kerap pulang malam sehabis dakwah di tempat yang jauh tidak pernah di ganggu. Saudara-saudara saya yang Kristen begitu sangat bersahabat. Hampir satu tahun saya tinggal di tempat tersebut. Saya tidak pernah menghadapi masalah. Bahkan ketika saya pindah ke rumah yang permanent, mereka membantu saya. Pengalaman tersebut mengajarkan kepada saya, kerukunan antar pemeluk agama hanya dapat dibangun, jika ada saling menghargai dan menghormati; antara pendatang dengan penduduk asli, kelompok minoritas dengan mayoritas. Bukankah tidak ada manfaatnya membenturkan keyakinan dan kepercayaan yang sifatnya sangat ruhani tersebut. Hemat saya, konflik yang terjadi antara Islam dan Kristen di Indonesia salah satu sebabnya adalah karena kelompok pendatang dan minoritas kerap memaksakan kehendaknya. Hubungan Islam dan Kristen dalam sejarahnya, termasuk di Indonesia, diwarnai rasa "marah" bahkan dalam tingkat tertentu rasa bermusuhan kendati dalam sunyi. Hal ini semakin dipicu, karena kedua agama tersebut merupakan agama risalah, yang memiliki dan mengakui klaim keselamatan hanya ada pada agamanya. Suasana yang seperti ini, jika tidak disikapi dengan jujur dan terbuka, akan melahirkan konflik horizontal. Bagi saya, salah satu wujud keterbukaan dan keberterusterangan itu adalah, adanya keharusan bagi kelompok minoritas dan pendatang untuk menghargai kelompok asli dan menjadi mayoritas. Bagi umat Islam di Bali atau di daerah Batak, ketika menjadi minoritas, harus menghargai saudaranya yang mayoritas atau penduduk asli di daerah tersebut. Adalah sikap yang tidak bijaksana jika mereka yang minoritas memaksakan dirinya untuk mendirikan masjid. Harus dibedakan larangan beribadah dengan larangan mendirikan rumah ibadah. Selama ini kita kerap menyamakan antara beribadah dengan mendirikan rumah ibadah. Sesungguhnya mendirikan rumah ibadah tidak wajib. Ajaran Islam menegaskan bahwa seluruh bumi Allah ini dapat dijadikan masjid dalam makna "tempat sujud" bukan dalam arti bangunan yang memiliki kubah. Muslim yang minoritas tidak perlu untuk menggunakan Toa yang voltasenya maksimal ketika azan, baca Qur'an atau tabligh. Kita harus menenggang rasa terhadap mereka yang mayoritas. Itulah cermin kedewasaan beragama. Demikian pulalah halnya jika umat Kristen menjadi pendatang dan minoritas di daerah tertentu. Adalah tidak bijaksana jika ekspresi keberagamaannya didemontrasikan sedemikian rupa. Wajar saja di sebuah kampung yang penduduknya mayoritas muslim merasa tersinggung, jika kelompok minoritasnya memaksakan diri untuk mendirikan rumah ibadah. Lebih-lebih jika aturan-aturan hukum dicoba untuk "diutak-atik". Tidak tepat juga jika kita menggunakan alasan Hak Asasi Manusia. Bagi saya yang menjadi hak asasi adalah beribadah bukan mendirikan rumah ibadah. Saya terkadang heran saja, jika ada pihak yang mencoba menafikan logika mayoritas-minoritas. Faktanya ada pemeluk agama yang menjadi mayoritas tetapi juga ada yang minoritas. Ini adalah realitas yang tidak dapat dibantah dan merupakan kenyataan sosial yang terdapat di mana-mana. Dalam konteks etnik realitasnya juga demikian; ada etnik asli, ada pula etnik pendatang. Di Indonesia Islam menjadi mayoritas secara totalitas penduduk negeri ini. Tetapi di daerah-daerah tertentu, Islam menjadi minoritas. Lihatlah di Karo juga di daerah Tapanuli atau di Nias. Lihat pula di Bali, Irian Jaya, Nusa Tenggara Timur, dan beberapa bagian Indonesia Timur lainnya. Tanyalah umat Islam di sana. Bagaimana mereka diperlakukan. Sudahkan adil dan bermartabat. Bagi saya, sepanjang hak-hak dasar, beragama (beribadah), keselamatan jiwa, keturunan, harta dan akal (al-dauiriyat al-khamsah) kelompok minoritas tidak terganggu, maka tidak ada yang perlu di desakkan dan dipaksakan. Saya teringat kejadian tahun 1967 ketika terjadi konflik agama di Indonesia. yaitu pengrusakan geraja di Meulaboh, Aceh (Juni 1967), perusakan gereja di Ujung Pandang, Makasar (Oktober 1967) dan beberapa kasus lainnya. Sewaktu M. Natsir pulang dari lawatannya ke luar negeri, ia diminta berkomentar tentang hubungan Islam – Kristen di Indonesia. Pokok pemikiran yang disampaikan Natsir adalah, apa yang terjadi itu sesungguhnya dampak-ekses dari satu peristiwa atau fenomena yang dirasakan tidak adil. Apakah masih sesuai dengan Pancasila jika pemeluk agama tertentu dengan berbagai caranya memaksakan orang-orang yang telah beragma untuk berpindah agama. Apakah sesuai dengan Pancasila, jika di daerah yang hampir tidak dijumpai pemeluk agama tertentu berdiri rumah ibadah yang cukup megah ! Akhirnya, M. Natsir menawarkan perlunya etika dalam dakwah. Tidak ada boleh pemaksaan dalam hal keyakinan beragama. Dakwah harus disampaikan dengan penuh kejujuran dan ketulusan. Dakwah memerlukan kearifan, kebijaksanaan, bukan provokasi apa lagi menghasut dan menjelekkan agama tertentu dengan tujuan untuk merubah dan menggeser keyakinan orang lain. Jika orang harus berpindah agama, sejatinya perpindahan itu didasarkan pada pencarian dan penemuan kebenaran itu sendiri. Bagi saya salah satu bentuk perwujudan dari etika tersebut adalah saling menghargai dan menghormati kelompok minoritas terhadap kelompok mayoritas. Jika ini terwujud, maka efeknya akan muncul saling menghargai antar sesama. Pada gilirannya, yang mayoritas menjadi pelindung bagi minoritas. Sejarah Islam menunjukkan, ketika Islam menjadi mayoritas dan non muslim menjadi minoritas, yang tercipta adalah kedamaian dan ketenteraman. Jika ada yang ragu, marilah kita kembali menolah sejarah dan membacanya dengan jujur. Mungkin apa yang ditawarkan ini bagi sebagian orang terasa naïf. Namun semangat yang ingin dikemukakan adalah dalam membangun kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia, kita perlu terbuka, apa adanya, jujur dan tanpa perasangka. Saya khawatir, pemerintah kerap menyatakan tidak ada konflik agama, tetapi masyarakat merasakannya. Saatnya pemerintah, pejabat, tokoh organisasi agama (bukan tokoh agama) berhenti berbicara dan tanyalah umat beragama, apa sesungguhnya yang mereka rasakan. Selanjutnya apa yang mereka inginkan. Jangan-jangan, apa yang dinyatakan pemeluk agama dengan apa yang diinginkan tokohnya tidak sama.(sumber : koran waspada)
|