Secara literal,
‘aqidah berasal dari kata ‘aqada yang bermakna al-habl, al-bai’, al-‘ahd
(tali, jual beli, dan perjanjian).[1]
Menurut istilah,
kata I’tiqad (keyakinan) bermakna, tashdiiq
al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi’ ‘an al-daliil (pembenaran pasti yang sesuai
dengan kenyataan dan ditunjang dengan bukti).[2]
Kata al-‘aqiidah,
al-‘ilm, al-yaqiin, dan al-iiman bermakna sama.
Menurut bahasa, al-yaqiin bermakna
al-‘ilmu.[3]
Menurut istilah, yaqiin memiliki
arti, “menyakini sesuatu dengan keyakinan
bahwa sesuatu yang diyakininya itu tidak mungkin berbeda dengan
keyakinannya. Sebab, keyakinannya sesuai
dengan kenyataan yang tidak mungkin berubah.”[4]
Imam Ibnu Mandzur menyatakan, "Tokoh ahli
bahasa Azujaj, mendefinisikan iman dengan, “Sikap ketundukan, kepatuhan, dan
kesediaan untuk menerima syari'at Islâm.”
Sikap ini harus terefleksi pula dalam menerima apa-apa yang disampaikan
Rasulullah saw (sunnah). Sunnah harus diyakini dan dibenarkan di dalam hati.
Siapa saja yang bersikap seperti itu, dan menyakini bahwa melaksanakan suatu
kewajiban itu merupakan keharusan tanpa ragu-ragu lagi, maka hakekatnya ia
adalah seorang mukmin dan muslim yang keimanannya tidak ragu-ragu lagi. Allah
swt berfirman, "....dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami..."[5]
Makna iman adalah tashdiq
(pembenaran). Dalam kitab al-Tahdzib, disebutkan bahwa iman
berasal dari kata amana - yu'minu- îmânan,
yang artinya membenarkan. Ahli bahasa
sepakat bahwa iman berarti tashdiq (pembenaran).
Lawan dari yaqin, ‘ilmu, dan iiman adalah dzan.[6] Menurut bahasa, dzan bermakna tahammuh
(prasangka/dugaan).[7]
Imam Zamakhsyariy berkata, “bi’r dzannuun: la
yutsaaq bi maa’iha.[Sumur yang meragukan adalah sumur yang airnya tidak bisa
dipercaya]; rajul dzannuun: la yutsaaq bi khabarihi [laki-laki yang meragukan
adalah laki-laki yang beritanya tidak bisa dipercaya].”[8]
Iman Dalam Tinjauan Istilah
Imam al-Nasafiy, berpendapat, "Îman adalah pembenaran
hati sampai pada tingkat kepastian dan ketundukan."[9]
Imam Ibnu Katsir menjelaskan,"Îman yang telah ditentukan oleh syara' dan diserukan kepada kaum muslimîn adalah berupa i’tiqâd (keyakinan), ucapan, dan perbuatan. Inilah
pendapat sebagian besar Imam-imam madzhab. Bahkan, Imam Syafi'iy, Ahmad bin Hanbal,dan Abu Ubaidah menyatakan,
pengertian ini sudah menjadi suatu ijma'. (kesepakatan)".[10]
Imam Nawawi, menyatakan, "Ahli Sunnah dari kalangan ahli hadits, para fuqaha, dan ahli
kalam, telah sepakat bahwa seseorang dikategorikan muslim apabila orang
tersebut tergolong sebagai ahli kiblat (melakukan sholat). Ia tidak kekal di
dalam neraka. Ini tidak akan didapati kecuali setelah orang itu mengimani
dienul Islâm di dalamnya hatinya,
secara pasti tanpa keraguan sedikitpun, dan ia mengucapkan dua kalimat
syahadat."[11]
Imam al-Ghazali, menyatakan,"Îman adalah pembenaran
pasti yang tidak ada keraguan maupun perasaan bersalah yang dirasakan oleh
pemeluknya."[12]
Keimanan harus ditetapkan dengan dalil yang bersifat qath’iy (pasti) baik
tsubut (sumber) maupun dilalahnya
(penunjukkannya). Sebab, keimanan yang
dituntut oleh Syaari’ adalah keimanan yang menyakinkan dan tidak disusupi
keraguan.
[1]
Mohammad
Ibnu Abiy Bakar al-Raaziy, Mukhtaar
al-Shihaah, Daar al-Fikr, 1401 H/1971
M, hal.444. Bila dikatakan I’taqada
fulaan al-amr (seseorang telah beri’tiqad terhadap suatu perkara), maknanya
adalah, shadaqahu, wa ‘aqada ‘alaihi qalbuhu, wa dlamiiruhu, (seseorang
itu telah membenarkan perkara tersebut, hatinya telah menyakininya, dan ia
telah bersandar kepada perkara tersebut).
Lihat al-Mu’jam al-Wasith, jilid I, bab ‘aqada.
[2]
Fathi
Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi
al-‘Aqidah, ed. II, Daar
al-Bayaariq, 1414 H/199 M , hal. 22.
[3] Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 743
[4] Al-Jurjaniy, al-Ta’riifaat, hal. 113
[5] Al-Quran, Yusuf:17.
[6] Al-Raghib al-Isfahaaniy, Mufradaat al-Faadz al-Quran, hal.327
[7] Dalam kamus
Mukhtaar al-Shihaah, disebutkan, bahwa kata dzan kadang digunakan dengan makna
al-‘ilmu (yaqiin) [lihat juga Imam
al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul
al-Ahkaam, hal 218]. Fathi Mohammad Salim menyatakan, bahwa kata dzann
adalah keyakinan kuat yang masih mengandung makna yang berlawanan. Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 406.
Kata dzan kadang-kadang digunakan dengan makna yaqiin dan syakk
(keraguan). [lihat Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq,
1414 H/199 M , hal. 20].
[8] Asaas al-Balaaghah, hal. 303
[9] Imam
al-Nasafiy, Al-'Aqâid al-Nasafiyyah, hal. 27-43
[10] Ibnu
Katsîr, Tafsir Ibnu Katsîr,
jilid.I, hal. 40
[11] Imam
Nawawi, Syarah Shahih Muslim,
jilid I, hal. 49
[12] Imam
Al-Ghazali, Iljâm al-'Awam 'an 'Ilm al-Kalâm, hal. 112