Oleh: Dr Adian Husaini
Pada hari Kamis (8/11/2012) pagi, saya berkesempatan menonton tayangan langsung acara pembukaan “Bali Democracy Forum V” di Bali. Acara itu dibuka oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan dihadiri sejumlah kepala negara dan pemerintahan. Saat menyampaikan sambutan, Presiden SBY mengucapkan basmalah, salam secara Islam, dan juga ungkapan “Om Swastyastu” – sebuah salam khas agama Hindu. Pejabat sebelumnya pun melakukan hal yang sama.
Tindakan pejabat tinggi Indonesia dalam mengucapkan salam dalam berbagai versi agama itu sudah seringkali terdengar. Bagi kaum Hindu, “Om Swastyastu” memang ucapan ibadah dalam agama Hindu. Seorang Hindu menjelaskan tentang makna Om Swastyastu sebagai berikut:
“Salam Om Swastyastu yang ditampilkan dalam bahasa Sansekerta dipadukan dari tiga kata yaitu: Om, swasti dan astu. Istilah Om ini merupakan istilah sakral sebagai sebutan atau seruan pada Tuhan Yang Mahaesa. Om adalah seruan yang tertua kepada Tuhan dalam Hindu. Setelah zaman Puranalah Tuhan Yang Mahaesa itu diseru dengan ribuan nama. Kata Om sebagai seruan suci kepada Tuhan yang memiliki tiga fungsi kemahakuasaan Tuhan. Tiga fungsi itu adalah, mencipta, memelihara dan mengakhiri segala ciptaan-Nya di alam ini. Mengucapkan Om itu artinya seruan untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan. Dalam Bhagawad Gita kata Om ini dinyatakan sebagai simbol untuk memanjatkan doa pada Tuhan. Karena itu mengucapkan Om dengan sepenuh hati berarti kita memanjatkan doa pada Tuhan yang artinya ya Tuhan.
Setelah mengucapkan Om dilanjutkan dengan kata swasti. Dalam bahasa Sansekerta kata swasti artinya selamat atau bahagia, sejahtera. Dari kata inilah muncul istilah swastika, simbol agama Hindu yang universal. Kata swastika itu bermakna sebagai keadaan yang bahagia atau keselamatan yang langgeng sebagai tujuan beragama Hindu. Lambang swastika itu sebagai visualisasi dari dinamika kehidupan alam semesta yang memberikan kebahagiaan yang langgeng.” (http://www.mail-archive.com/hindu-dharma@itb.ac.id/msg07018.html).
Itulah penjelasan Hindu tentang ucapan salam khas Hindu, “Om Swastyastu”. Dari penjelasan itu tampak, bahwa ungkapan salam Hindu itu sangat terkait erat dengan konsep Tuhan dan sembahyang dalam agama Hindu. Jadi, kata “Om” dalam agama Hindu berarti “Ya Tuhan”.
Dalam buku kecil berjudul “Sembahyang, Tuntunan Bagi Umat Hindu” karya Jro Mangku I Wayan Sumerta (Denpasar: CV Dharma Duta, 2007), disebutkan sejumlah contoh doa dalam agama Hindu yang diawali dengan kata “Om”, seperti doa sebelum mandi: “OM, gangga di gangga prama gangga suke ya namah swaha”.
Meskipun sama-sama menyatakan bertuhan SATU, agama-agama memiliki konsep Tuhan yang berbeda-beda tentang “Yang Satu” itu. Kaum Hindu, misalnya, mempunyai konsep dan juga sebutan-sebutan untuk Tuhan mereka secara khas. Dalam buku karya Ngakan Made Madrasuta berjudul “Tuhan, Agama dan Negara” (Media Hindu, 2010), dijelaskan perbedaan konsep Tuhan antara Hindu, Kristen, Yahudi, dan Islam. Tentu saja penjelasan itu dalam perspektif Hindu. Menurut penulis buku ini, Tuhan dalam agama Hindu, yakni Sang Hyang Widhi tidak dapat disebut “Allah”. Disimpulkan oleh penulis buku ini:
“Membangun toleransi bukan dengan mencampuradukkan pemahaman tentang Tuhan, tetapi sebaliknya justru dengan mengakui perbedaan itu. Dalam pengertian ini, Krishna bukan Kristus, Sang Hyang Widhi bukan Allah!” (hal. 33).
Misalnya, tentang perbedaan antara Kristus dan Krishna dijelaskan:
“Ingat Hindu tidak percaya akan dosa asal, tidak percaya dengan Adam dan Hawa, dan Krishna juga tidak mati di kayu salib. Krishna datang ke dunia sebagai Avatara, bukan untuk menebus dosa, tetapi untuk menegaskan kembali jalan menuju moksha (empat yoga itu) terutama karma yoga. Jadi manusia sendiri harus aktif untuk memperoleh keselamatannya. Tidak perlu akal yang terlalu kritis untuk membedakan misi keberadaan Kristus dengan Krishna di dunia ini.” (hal. 31).
Kaum Hindu juga sangat membanggakan konsep Tuhan mereka yang bersifat pantheistik dan bukan monotheistik. Lebih jauh buku terbitan Media Hindu ini menyatakan:
“Monotheisme mengajarkan kebencian dan kekerasan, memecah belah manusia ke dalam apartheid orang beriman versus orang kafir. Tuhan pemecah belah. Pantheisme mengajarkan hal-hal sebaliknya; penghormatan terhadap seluruh makhluk hidup, semua manusia adalah satu keluarga, ahimsa, welas asih, Tuhan pemersatu.” (hal. 214).
Untuk membanggakan agama Hindu sebagai agama yang lebih hebat dari agama Yahudi, Kristen, dan Islam, buku ini juga memberikan gambaran yang tidak sepenuhnya benar tentang ajaran Islam. Dalam bab berjudul “Agama-agama Langit Kualitasnya Jauh di Bawah Hindu” ditulis ungkapan-ungkapan sebagai berikut:
“Hakikat manusia adalah dosa (Yahudi/Kristen) atau budak Allah (Islam). Artinya agama-agama ini memandang manusia secara sangat negatif. Untuk membuat manusia tetap percaya kepada Tuhan dan agennya dan taat beribadah, ia terus diancam dengan kiamat, siksa neraka bahkan termasuk pembunuhan di dunia ini. Di samping itu, agar manusia terus memerlukan Tuhan, Tuhan menciptakan dan memelihara setan untuk menggoda manusia.
Sebagai budak manusia tidak memiliki kebebasan. Hidupnya ditentukan secara sepihak dan sewenang-wenang oleh Tuhannya, pemilik budak-budak itu. Karena Tuhan bermukim jauh di langit, kekuasaan Tuhan itu didelegasikan atau diasumsikan oleh para agennya, apakah dengan sebutan nabi, rasul, sultan, atau paus. Kebebasannya digantungkan pada seorang tokoh pendiri agama. Kematian Yesus menyelamatkan semua pengikutnya. Muhammad, pada waktu Pengadilan Akhir, merekomendasikan siapa dari pengikutnya masuk sorga atau neraka, dan Allah hanya mengikuti rekomendasi itu. Keselamatan mereka semata-mata karena iman. Bukan karena perbuatannya. Etika tidak perlu. Ini tentu saja merupakan ketidakadilan rangkap dua…
Tujuan tertinggi manusia menurut agama-agama ini adalah sorga di mana mereka hidup abadi dengan badannya, yang berasal dari badan yang hina, tempat pencabulan, kata Paulus, salah satu pendiri agama Kristen. Bahkan di dalam sorga salah satu agama ini, dijelaskan secara rinci bagaimana hidup untuk memenuhi nafsu birahinya, terutama seks, tanpa batas. Sorga menjadi tempat pesta orgi yang menjijikkan.” (hal. 217-218).
****
Begitulah pandangan kaum Hindu terhadap konsep Tuhan Islam dan konsep manusia dalam Islam. Karena begitu membanggakan agamanya, sebagian kaum Hindu, tampaknya sangat berambisi untuk mengubah kembali Indonesia menjadi negara Hindu. Majalah MEDIA HINDU (edisi Juli 2012), menurunkan laporan utama bertajuk: “Hindu dengan Label Bali Tidak Laku”.
Dilaporkan, pada tanggal 19 Mei 2012, telah diselenggarakan sebuah acara dialog bertema: “Dialog Kebangkitan Hindu di Tanah Jawa.” Menurut majalah ini: “Kebangkitan Hindu bukan hal yang mustahil terjadi, dengan catatan kita harus berani menunjukkan eksistensi dan jati diri Hindu. Ini sangat penting.”
Katanya, kebangkitan Hindu di Nusantara dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama, kebangkitan tahun 1970-an. “Pada awal kebangkitan pertama tersebut harus diakui bahwa nostalgia kembalinya kejayaan Hindu di Nusantara sepertinya sudah di depan mata.” Tapi, setelah 40 tahun kebangkitan Hindu pertama itu, perkembangan Hindu tidak sehebat dulu lagi. “Suara Hindu masih belum banyak diperhitungkan pada setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama mayoritas justru semakin menunjukkan hegemoni yang memperberat kehidupan berbangsa dan bernegara.”
Dalam artikel berjudul “Mengkondisikan Jawa Kembali Hindu” di majalah ini dikatakan: “Kita semua mendambakan Jawa kembali Hindu, guna mengiringi kejayaan bangsa Indonesia menjadi negara adidaya di tahun 2080 an, sebagaimana sabda Pandita Ratu Jayabaya, ramalan Sabdo Palon dan prediksi para ahli kelas dunia seperti Goldman Sach. Untuk diperlukan kondisi yang mendukung untuk tumbuh dan berkembangnya Hindu di Jawa atau bagaimana menjadikan Jawa kondusif untuk kembali menjadi Hindu.”
Ditargetkan, sepuluh tahun ke depan, 30 persen penduduk Indonesia sudah kembali menjadi Hindu dan ditahun keadidayaan bangsa ini, yaitu di tahun 2080, 80 persen sudah kembali Hindu. “Yang pada gilirannya menjadi bangsa yang telah menemukan kembali kepribadiannya, yang telah berpijak pada jatidirinya dan menjadi pusat kebudayaan dunia.”
Ambisi untuk meng-Hindukan kembali Indonesia sudah pernah diungkap dalam Majalah MEDIA HINDU, edisi Oktober 2011, yang saat itu menurunkan laporan utama berjudul “Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit”. Ditegaskan pada bahasan utama: “Kembali pada Hindu, sebagai satu-satunya langkah utama untuk mengantar Indonesia ini kembali menjadi Negara Adidaya.”
Lalu disimpulkan: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi Negara maju.”
Hindu Pluralis?
Membaca pemikiran kaum Hindu yang begitu berambisi untuk menghindukan kembali Indonesia, cukup memunculkan tanda tanya tentang klaim Hindu sebagai agama pluralis yang sangat toleran dengan kepercayaan agama-agama lain, sebagaimana pernah dipaparkan di Majalah MEDIA HINDU edisi April 2010. Dalam kolomnya yang berjudul ‘Pluralisme Surga’, Ngakan Putu Putra menyebutkan dukungan kuat terhadap gagasan pluralisme agama. Ia menulis sebagai berikut :
“Meninggalnya Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), pada akhir Desember 2009, bagaikan momentum sebuah perayaan atas pluralisme agama. Doa bersama oleh tokoh berbagai agama dilakukan di kediaman mendiang, maupun di tempat ibadah masing-masing, berbagai tulisan diterbitkan, buku tentang Gus Dur diluncurkan, seperti yang dilakukan di Pura Aditya Jaya Rawamangun, tanggal 8 Februari yang dihadiri oleh perwakilan keluarga, perwakilan majelis agama para sahabat yang memberikan testimoni, diikuti dengan doa bersama.
Penghormatan ini memang pantas, karena jasanya yang besar untuk mengembangkan pluralisme agama di Indonesia, yang dilakukannya secara konsisten sejak muda, melalui tulisan-tulisannya di media massa, dialog yang dilakukannya ketika menjadi ketua umum PBNU, dan keputusan ang diambilnya ketika menjadi Presiden, yang paling fenomenal adalah pengakuannya terhadap agama Konghucu dan diperbolehkanna Imlek. Gus Dur juga sering datang ke pura dan ashram di Bali dan ikut sembahyang dan bhajan.
Namun dibalik perayaan itu, yang melambangkan optimisme akan pluralisme di Indonesia, yang sebetulnya sudah dirumuskan oleh Mpu Tantular pada abad 15, terselip juga kekhawatiran. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang di dalamnya terdapat wakil-wakil dari organisasi massa Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah beberapa tahun lalu mengeluarkan fatwa mengharamkan pluralisme. Sekalipun mendapat kritik keras dari berbagai kalangan sampai saat ini fatwa itu belum dicabut….
Agama-agama Timur seperti Hindu, Buddha, Jain, dan Sikh tidak mengalami kesulitan untuk menerima pluralisme agama. Sikap pluralistik itu berakar di dalam ajarannya. Sementara agama-agama Semitik bersifat anti-pluralisme. Paus Benedict XVI, pemimpin Gereja Katolik Roma, menolak menghadiri doa bersama para tamunya, para tokoh berbagai agama di dunia yang diundangnya untuk acara dialog antar agama, yang diadakan di Vatikan, 2007. Karena bila dia ikut dalam doa bersama itu, akan memberi kesan bahwa dia mengakui semua agama memiliki kebenaran yang sama. Tuan rumah yang arogan.’’
Di MEDIA HINDU edisi yang sama, diturunkan artikel dari I Ketut Budiasa, berjudul ‘Hindu, Pluralisme, dan Masa Depan Umat Manusia’. Ditulis dalam artikel ini : “Agama Hindu tidak bermasalah dengan pluralisme.” Lalu, ditegaskan : “Manusia membutuhkan paham ketuhanan Hindu untuk menciptakan masa depan umat manusia yang damai di bumi yang dihuni bersama ini. Hanya dengan pandangan ketuhanan Hindu dan “sifat-sifat Tuhan Hindu” manusia dapat menciptakan masa depan yang damai secara hakiki dan tulus.”
Menurut penulis, Hindu tak membagi manusia ke dalam ‘pemuja Tuhan’ dan ‘musuh Tuhan’. Apakah matahari hanya memberi sinarnya kepada sekelompok orang ? Bahkan, ia tidak memalingkan sinarnya dari kotoran. Selanjutnya dikatakan: “Tuhan Hindu’’ yaitu Tuhan dalam konsep dan pandangan agama Hindu, yang disebut dengan berbagai nama : Brahman, Wisnu, Siwa, Rudra, dan ratusan atau bahkan mungkin ribuan nama lain, bukanlah Tuhan pencemburu.’’
Membaca persepsi dan ambisi kaum Hindu, kita patut bertanya: Jika Hindu mengaku sebagai agama pluralis dan toleran dengan kepercayaan agama lain, harusnya tidak mengritik konsep agama-agama lain, dan tidak berambisi meng-Hindu-kan kembali Indonesia.*/Depok, 12 November 2012