Oleh: Abul A’la Maududi (Tokoh Islam Pakistan)
Lalu dengen menggebu-gebu pula Spencer mengemukakan teori yang mengatakan bahwa alam ini terbentuk tanpa Pencipta, dan kehidupan ini muncul dengan sendirinya. Gelombang pasang yang melabrak sedemikian dahsyatnya ini makin diperhebat dengan munculnya berbagai penemuan ilmiah di bidang Biologi, Fisiologi, Zoologi, dan Geologi, serta makin canggihnya sarana-sarana fisik yang makin menancapkan keyakinan dalam kalbu ummat manusia bahwa alam semesta ini memang terjadi dengan sendirinya tanpa ada siapa pun yang menciptakannya.
Ia berjalan pada porosnya masing-masing berdasarkan hukum-hukum tertentu tanpa adanya kekuatan yang mengaturnya. Alam semesta selamanya mengalami evolusi tanpa campur tangan Dzat yang transendent dalam perubahan-perubahan yang dialaminya. Selain itu, dinyatakan pulan bahwa benda-benda mati itu memperoleh kehidupannya bukanlah melalui perintah Tuhan, melainkan berdasarkan evolusi yang dijalaninya, di mana saat perkembangan evolusi strukturnya telah memungkinkan, di situlah – secara otomatis – ia menemukan “ruh” kehidupannya. Lalu yang namanya pertumbuhan dan gerak perubahan yang muncul dari kehendak, indra, emosi dan pemikiran, semata-mata hanyalah merupakan ciri-ciri khusus yang dimiliki materi-materi yang memang bersifat evolusi. Demikian halnya dengan binatang dan manusia; mereka hanyalah boneka-boneka yang bergerak sesuai dengan hukum alam, sedangkan aktivitas dan perubahan yang mereka miliki adalah muncul sesuai dengan struktur yang memang telah disiapkan oleh organ-organ dan perlengkapan yang ada padanya tanpa adanya usaha yang bersifat dzatiah maupun kehendak yang bebas. Bila sistem yang dimilikinya rusak, dan perlengkapan yang ada padanya telah lenyap, maka kematian dan kiamat tidak mungkin dihindari lagi. Dengan demikian, alam semesta ini bersifat fana, sebab semua peralatan apa pun, manakala telah rusak dan tercerai-berai bagian-bagiannya, pasti lenyap pulalah spesifikasi yang dimilikinya, dan tak ada kemungkinan barang sedikitpun untuk menghimpun serta mengulang susunannya sampai kapanpun.
Selanjutnya, teori evolusi Darwin memainkan peranan amat besar dalam memantapkan materialisme ini dan menempatkannya sebagai teori ilmiah yang sistematis yang dibangun atas dalil dan bukti, sehingga bukunya yang berjudul The Origin of Species yang terbit untuk pertama kalinya pada tahun 1859 itu dianggap sebagai buku yang amat revolusioner dan luar biasa sekali. Melalui metodologi yang selama ini dianggap paling kuat oleh kalangan cendekiawan abad sembilan belas, Darwin melakukan pembuktian dan menyokong teori yang mengatakan bahwa sistem alam semesta ini dapat bekerja tanpa adanya Tuhan. Sementara itu, fenomenon dan mekanisme alam tidak memiliki acuan apa pun selain hukum-hukum alam yang lahir dengan sendirinya, dan bahwasanya evolusi benda-benda dari perwujudannya yang paling sederhana hingga yang paling tinggi, adalah hasil kerja evolusioner yang sama sekali terbebas dari kekuatan yang bersifat supernatural. Pencipta manusia, dan juga alam semesta ini bukanlah Pencipta Yang Maha Bijaksana, melainkan semuanya ini muncul dari sel melata yang karena berbagai proses dan kondisi lingkungan semisal pertarungan, penyesuaian abadi, dan seleksi alam, akhirnya menjadi manusia yang dapat berpikir, memiliki indra, dan emosi seperti yang ada sekarang ini.
Kedua hal ini lah – filsafat dan sains – yang melahirkan peradaban Barat, yang – sebagaimana pembaca lihat – bercorak sekular dan tidak mengenal Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, serta tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan adanya wahyu, kenabian, ilham, konsepsi kehidupan lain setelah mati, dan perhitungan amal di dunia, di mana seakan-akan manusia ini tidak dituntut tanggungjawab apa pun, dan juga tidak memiliki tujuan yang lebih mulia dan lebih tinggi ketimbang tujuan yang bercorak hewani. Itulah peradaban yang betul-betul materialis murni yang sistemnya sama sekali kosong dari asas yang menjadi pijakan peradaban Islam berupa ketakwaan kepada Allah, cinta kebenaran, memperjuangkan yang hak, menempuh kesucian moral, kebersihan jiwa, amanah, dan bajik, serta merupakan peradaban yang teori-teorinya berlawanan dengan teori-teori Islam dan bahkan jalan yang ditempuhnya sepenuhnya bertentangan dengan Islam. Apa yang ditegakkan Islam berupa sistem moral, kemanusiaan, sehingga mereka bisa mengambil yang benar dan meninggalkan yang salah. Selain itu, mereka pun tidak akan memiliki kemampuan untuk bisa berpikir secara mandiri serta melihat melalui kaca mata mereka sendiri terhadap persoalan-persoalan hidup dengan mempergunakan ijtihad pribadi. Akibat selanjutnya, adalah apa yang telah kita saksikan dewasa ini di mana peradaban Islam telah mulai goyah pilar-pilarnya. Sementara itu pemikiran yang mandiri dan islamis telah terbawa erosi. Sedangkan pemikiran yang telah disiapkan untuk berpikir dengan gaya Barat dan meyakini prinsip-prinsip peradabannya, pasti tidak akan sejalan dengan struktur khusus yang ditetapkan oleh prinsip-prinsip Islam. Dan apabila ia sudah tidak berpijak dalam hal-hal yang prinsip, niscaya makin mudahlah mencampakkan hal-hal yang bersifat parsial dan cabang, lalu makin bercampukaduklah perilaku mereka.
Tidak pelak lagi bahwa mayoritas kaum Muslimin sampai detik inipun tetap meyakini kebenaran ajaran Islam serta masih tetap ingin disebut Muslim. Kendati pun demikian, sebagian besar kaum cendekiawan yang kini sedang tumbuh, masih tetap terpengaruh oleh alam pemikiran Barat dan berpaling dari nilai-nilai utama Islam yang kian hari kian meningkat intensitasnya. Sementara itu kepemimpinan dan keberadaan alam pemikiran dan sains Barat – di samping keunggulan mereka di bidang politik – telah mengisi seluruh atmosfer alam pikiran dunia, serta mengubah opini kaum cerdik pandai, di mana amat sulit bagi mereka untuk bisa berpikir dengan pandangan dan metodologi yang islamis.
Kemelut ini tidak mungkin dapat diretas oleh kaum Muslimin, sepanjang mereka tidak memiliki pemikir-pemikir yang mandiri. Dengan kata lain, Islam dewasa ini sangat membutuhkan kebangkitan baru, pencerahan, (renaisans), dan bahwasannya apa yang telah dihasilkan oleh para pemikir yang telah mendahului kita selama ini, sudah tidak memadai lagi, sebab dunia sudah melangkah demikian pesat, sehingga tidak mungkin lagi mengatasi semua kesulitan yang ada dewasa ini dengan merujuk pada hasil-hasil pemikiran yang masa berlakunya telah lewat sekitar delapan ratus tahun yang lalu. Selain itu, kepemimpinan di medan ilmu pengetahuan dan kehidupan duniawi – tidak diragukan sedikitpun – pasti berada di tangan orang-orang yang berpandangan ke depan, dan tidak untuk mereka yang selalu menoleh ke belakang. Jadi, manakala Islam bermaksud merebut kembali posisi mereka untuk memimpin dunia, maka tidak ada alternatif lain kecuali melahirkan pemikir-pemikir dan peneliti, yang melalui pemikiran, teori, dan kajian mereka itu, kaum Muslimin mampu menantang peradaban Barat. Sesudah itu mereka dapat melakukan pembuktian terhadap fenomena alam dan mendalami penelitian di bawah petunjuk sistem al-Qur’an, lalu dengan semuanya itu mereka membangun sistem filsafat baru yang bersumber dari alam pikiran Islam yang murni, dan membuat kaidah-kaidah ilmu-ilmu kealaman (natural sciences) yang baru diarahkan pada garis-garis yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an al-Karim, kemudian menggugurkan teori yang atheistis sampai ke akar-akarnya. Sesudah itu, diletakkan dasar pemikiran dan penelitian berdasar teori Ilahiah, dan seterusnya bergerak maju – dengan gerakan pemikiran dan penelitian baru tersebut – dengan kekuatan dan semangat penuh yang dapat dijadikan jaminan bagi direbutnya kembali kepemimpinan bagi seluruh dunia. Lalu dengan itu pula ditegakkan peradaban Islam yang benar guna menggantikan peradaban Barat yang materialistis itu.
***
Apa yang baru saja saya kemukakan di atas, dapat ditangkap inti dan maksudnya melalui tamsil berikut ini: Dunia ini ibarat kereta api yang ditarik oleh lokomotif berupa alam pemikiran dan kajian, sedangkan kemudian kereta api ini berada di tangan para pemikir, pengkaji dan peneliti. Kereta ini terus berjalan ke mana ia diarahkan. Sementara itu, orang-orang yang ada di dalamnya – dalam posisi mereka sebagai penumpang – terpaksa, suka atau tidak suka, mengikuti saja ke mana kereta api itu berjalan. Jadi, manakala ada seorang penumpang yang ingin bepergian ke arah yang berbeda dengan tujuan kereta api itu, maka tidak bisa sekedar menggeser duduknya dari menghadap ke Barat menjadi ke Timur, atau pindah dari depan ke belakang, sementara kereta api itu tetap berjalan ke tujuan semula. Tidak diragukan sedikitpun, bahwa dengan cara seperti itu dia tidak akan dapat mengubah arah kereta api tersebut, sebab memang tidak ada cara lain yang bisa mengalihkan tujuan kereta api itu kecuali dengan jalan menguasai kemudi lokomotifnya, lalu dengan cara itu ia baru bisa menjalankan kereta api itu ke arah yang ia kehendaki. Orang-orang yang kini memegang kendali mesin penggerak itu telah berpaling dari Allah dan menjauhi pemikiran Islam. Karena itu, kereta api itupun terus menerus berjalan – berikut para penumpangnya ke arah materialisme, keserbabolehan, dan atheisme. Sementara pada penumpang yang dibawanya serta makin lama makin jauh dari tujuan Islam. Bila dikehendaki agar arah yang dituju itu berupa dan diarahkan ke jalan yang benar, tidak bisa tidak, harus ada pemimpin-pemimpin yang memiliki kemauan kuat dan niat yang melakukan upaya dan ijtihad yang kontinu, sampai saatnya mereka dapat merebut kembali lokomotif kemanusiaan ini dari tangan-tangan atheis. Akan tetapi, jelas pula bahwa manakala semua maksud itu tidak direalisasikan, dan kondisinya tetap tidak berubah dari apa yang ada sekarang, maka tidak syak lagi kereta api itu tetap akan berjalan pada relnya yang salah yang dikemudikan oleh manusia-manusia tak bertuhan, betapa pun berang dan marahnya para penumpang yang ada di dalamnya.!