Tiar Anwar Bachtiar (Ketua Umum PP Pemuda Persis)
Pendahuluan
Tatar Sunda adalah wilayah tempat bermukimnya suku Sunda. Tatar Sunda umumnya disamakan dengan daerah Jawa Barat. Sebelum daerah Jawa bagian barat terpecah menjadi provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat, seluruh wilayah ini dianggap sebagai bagian dari etnik Sunda. Oleh sebab itu, bila berbicara “Tatar Sunda” dalam sejarah, tentu wilayah-wilayah itu tetap merupakan bagian dariya.
Salah satu fase sejarah Sunda yang paling penting adalah fase Islamisasi. Fase ini sampai saat ini merupakan fase yang memberikan kesan paling penting dan mendalam bagi kehidupan masyarakat Sunda. Sebab saat ini mayoritas suku Sunda adalah penganut Islam. Islam bahkan hampir menjadi bagian dari identitas kesundaan. Sehingga terkesan agak aneh jika seorang Sunda bukan Muslim sekalipun pada kenyataannya ada orang Sunda yang bukan Muslim. Untuk itu pendekatan kajian yang tepat untuk masyarakat Sunda dalam kaitannya dengan Islam adalah kebudayaan. Sebab Islam adalah agama dan sekaligus peradaban yang keberadaannya dimanapun selalu membentuk peradaban. Sejarah proses Islamisasi menjadi semakin dapat dimengerti dengan baik apabila yang dipertimbangkan adalah faktor kebudayaan ini. Tulisan berikut ini akan secara singkat memotret Islamisasi Masyarakat Sunda dari sudut pandang sejarah dan kebudayaan.
A. Islamisasi Tatar Sunda dalam Sejarah
Sudah menjadi kebiasaan dalam historiografi kolonial bahwa Islamisasi akan selalu dibenturkan dengan adat masyarakat lokal sepertiyang dilakukan oleh beberapa sejarawan kolonial ketika menceritakan proses Islamisasi di wilayah kebudayaan Jawa dimana Islamisasi yang sesungguhnya adalah proses kebudayaan, kemudian digambarkan sebagai peristiwa politik. Jadilah kemudian perang antara Demak dengan Majapahit (1526 M) diartikan sebagai perang antara Islam dengan Hindu atau Islam dengan kebudayaan Jawa. Dalam hal ini, Demak disimbolkan sebagai wakil tradisi Islam, sementara Majapahit disimbolkan sebagai wakil kebudayaan Jawa.
Bila hubungan antara Islam dengan kebudayaan setempat dibaca seperti yang baru saja di kemukakan, maka bisa di pastikan bahwa kedatangan Islam ke Nusantara ditafsirkan sebagai upaya penghancuran “kebudayaan” masyarakat setempat. Padahal, sejatinya proses Islamisasi di Indonesia, apalagi menyangkut kebudayaan, pada umumnya merupakan proses yang damai, normal, dan wajar tanpa kekerasan; orang dengan sukarela menjadi Islam. Adapun persoalan politik, itu lebih banyak berkaitan dengan kepentingan kekuasaan daripada dengan kepentingan mempertahankan kebudayaan.
Dengan framework yang sama, hubungan antara Sunda dengan Islam dibaca dimana ia selalu dikaitkan dengan perang antara Maulana Hasanudin dari Banten dengan kerajaan Sunda di bawah pimpinan Ratu Samiam tahun 1579 yang berakhir dengan hancurnya kerajaan Sunda. Perang ini seolah memberikan gambaran bahwa Islam dengan Sunda adalah seteru, sesuatu yang tidak dapat dipersatukan. Padahal, dalam ingatan budaya masyarakat Sunda, perang tersebut sudah tidak pernah lagi menjadi bagian yang penting untuk dijadikan identitas. Artinya, bagi mereka kejadian itu tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting dalam proses Islamisasi yang mereka alami. Bahkan dalam alam pikiran masyarakat Sunda—sebagaimana nanti akan dijelaskan—sejarah Islamisasi yang mereka alami tidak pernah dikaitkan dengan permusuhan terhadap kelompok manapun.
Dalam catatan sejarah, Islam datang ke Tatar Sunda seiring dengan datangnya Islam ke Tanah Jawa pada umumnya. Sama seperti di wilayah Jawa yang lain, puncak keberhasilan da’wah Islam adalah pada masa Wali Songo. Di Tatar Sunda, anggota Wali Songo yang menjadi penyebar Islam tersohor, bahkan sampai berhasil mendirikan kerajaan Islam di Cirebon dan Banten adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Namun demikian, Sunan Gunung Jati bukan orang pertama yang membawa Islam. Dalam sumber-sumber lokal-tradisional dipercayai bahwa orang yang pertama kali memeluk dan menyebarkan Islam di Tatar Sunda adalah Bratalegawa. Bratalegawa adalah putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora, penguasa Kerajaan Galuh. Ia memilih hidupnya sebagai saudagar besar. Karena posisinya itu, ia tebiasa berlayar ke Sumatera, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam, kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaannya, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa. Ia kemudian menetap di Ciberon Girang yang saat itu berada di bawah kekuasaan Galuh.[1]
Bila cerita ini menjadi patokan, dapat disimpulkan bahwa Islam pertama kali dibawa ke Tatar Sunda oleh pedagang dan pada tahap awal belum banyak pendukungnya karena masih terlampau kuatnya pengaruh Hindu. Sementara kala waktunya, bila dikaitkan dengan penguasa Kerajaan Galuh Sang Bunisora yang berkuasa selama 14 tahun dari tahun 1357 hingga 1371 M,[2] maka dapat kita ketahui bahwa peristiwa Bratalegawa atau Haji Purwa di atas terjadi sekitar abad ke-14.
Ada pula naskah tradisional lain yang menyebutkan cerita tentang Syekh Nurjati dari Persia. Ia adalah ulama yang datang pada sekitar abad ke-14 bersama 12 orang muridnya untuk menyebarkan Islam di daerah jawa Barat. Atas izin penguasa pelabuhan tempat ia mendarat, ia diperbolehkan menetap di Muarajati (dekat Cirebon) dan mendirikan pesantren di sana. Kisah ini terdapat dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.[3]
Dalam Babad Cirebon, kisah perintis penyebaran Islam hampir mirip dengan cerita Bratalegawa. Hanya saja, tokohnya kali ini adalah Pangeran Walang Sungsang yang dikenal juga dengan nama Ki Samadullah, Ki Cakrabumi, atau Syekh Abdul Iman. Ia adalah anak penguasa Pajajaran Prabu Siliwangi dari istrinya Nyai Subang Larang.[4] Hanya saja, ceritanya kemudian bercampur dengan mitos bertemunya Walangsungsang dengan nabi Muhammad Saw., padahal secara historis terjadi perbedaan zaman yang cukup jauh.[5] Di daerah Priangan tokoh anak Prabu Siliwangi yang dipercaya menyebarkan Islam di Tanah Sunda adalah Kean Santang, dengan cerita yang hampir sama.[6]
Ada lagi kisah tentang ulama yang datang dari Campa (sekitar Vietnam) bernama Syekh Quro. Ia singgah di Karawang bersama-sama dengan kapal Laksamana Cheng Ho. Sementara Cheng Ho melanjutkan misinya, Syekh Quro memilih tinggal di Karawang dan menikah dengan Ratna Sondari putra penguasa Karawang. Ia diizinkan untuk mendirikan pesantren hingga ia dapat menyebarluaskan ajaran Islam secara lebih leluasa.[7]
Sumber-sumber tradisional ini, sekalipun dalam perspektif sejarawan Barat dianggap sebagai sumber yang tidak otoritatif, namun tidak mempercayai keseluruhannya bukanlah sikap yang tepat. Sebagai informasi awal, apa yang ditulis dalam sumber-sumber tradisional di atas patut dipertimbangkan.
Bila sumber-sumber tradisional di atas tadi kita pegang, dapat disimpulkan bahwa Islam telah datang ke Tatar Sunda sejak abad ke-12 atau ke-13. Akan tetapi, sebagaimana umumnya pengembangan agama secara damai, tersebarnya Islam untuk sampai menjadi anutan mayoritas membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, bila pada abad ke-16, Kerajaan Sunda runtuh, bukan berarti bahwa Islam yang menghancurkannya. Kehancuran Kerajaan Sunda adalah karena kekuatannya secara politik semakin merosot sehingga mudah untuk dihancurkan. Hanya saja, saat itu yang berhadap-hadapan dengan Kerajaan Sunda adalah Kerajaan Banten sehingga banyak yang secara simplisistik menyebutkan bahwa hancurnya simbol “kasundaan” adalah ketika Islam datang. Artinya, peristiwa politik antara Banten dengan Pajajaran harus dilihat dalam konteks perebutan supremasi politik yang tidak selalu harus berkaitan dengan masalah keyakinan, terutama dalam konteks Islamisasi di Tatar Sunda.
Islamisasi di Tatar Sunda sendiri berlangsung secara laten jauh sebelum terjadi berbagai konflik politik antara Kerajaan Islam Cirebon dan Banten dengan Kerajaan Pajajaran. Menurut Hasan Mu’arif Ambary,[8] Islamisasi di Nusantara, termasuk di Tatar Sunda melalui tahap-tahap yang hampir seragam, yaitu: pertama, adanya kontak antara masyarakat Nusantara dengan para pedagang, pelaut, atau musafir dari berbagai belahan dunia seperti China, Arab, India, Asia Tenggara, Persia, dan sebagainya. Periode ini, berlangsung antara abad ke-7 hingga abad ke-11. Kontak pergadangan ini menjadi argumentasi awal atas kemungkinan bertemunya masyarakat Nusantara dengan para pedagang Muslim dari negara-negara Islam.
Kedua, adanya kontak perdagangan internasional di atas, telah membuka kesempatan kepada penduduk Nusantara untuk mengadakan kontak secara khusus dengan para pedagang Muslim. Kontak inilah yang mula-mula memperkenalkan Islam ke wilayah Nusantara. Sebagian penduduk Nusantara sudah mulai ada yang tertarik untuk mempelajarinya, tidak terkecuali di Tatar Sunda yang sebagian wilayah meliputi juga wilayah pesisir seperti Banten (temasuk Jakarta) dan Cirebon yang pada umumnya menjadi tujuan utama para pedagang internasional. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pusat penyebaran Islam yang pertama muncul di daerah pesisir Cirebon. Akan tetapi, tidak ada informasi sejarah tentang kontak awal Islam di wilayah Tatar Sunda ini sebelum abad ke-14. Hanya saja, kalau mengikuti logika sejarah tentang Bratalegawa yang anak penguasa dan saudagar, dugaan bahwa jauh sebelum abad ke-14 komunitas Muslim dari berbagai belahan dunia sudah memiliki kontak dengan masyarakat di Tatar Sunda bisa jadi benar. Tentu saja ini perlu pembuktian lebih lanjut melalui penelusuran bukti-bukti sejarah baru dari wilayah Tatar Sunda yang sampai saat ini masih terbatas.
Ketiga, tumbuhnya komunitas Islam di Nusantara, baik di wilayah pesisir maupun pedalaman. Fase ini berlangsung antara abad ke-11 hingga abad ke-13 Masehi. Di beberapa wilayah pesisir Sumatera, pada fase ini bahkan sudah muncul beberapa kerajaan Islam awal. Sementara di Tatar Sunda sendiri, seperti sudah dijelaskan di atas, kemungkinan besar sudah muncul komunitas Muslim di wilayah pesisir utara Jawa Barat (Cirebon, Karawang, dan sekitarnya). Bila nama-nama seperti Syekh Quro dan lainnya sudah muncul, berarti sudah tumbuh komunitas Muslim di sana. Bahkan bila merujuk kepada mitos tentang Kean Santang, anak Prabu Siliwangi, yang masuk Islam, komunitas Muslim di Tatar Sunda besar kemungkinan sudah masuk pula ke pusat-pusat kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran…*