Di dunia ini secara syar'I penduduknya dibagi menjadi dua macam bentuk manusia yaitu muslim dan kafir. Orang yang beriman dengan apa yang diturunkan Alloh melalui rosul-Nya maka ia adalah seorang muslim, sedangkan orang yang tidak mau beriman dengan-Nya maka ia adalah orang kafir, apapun bentuk keyakinan dan agama yang mereka anut, karena semua bentuk kekafiran itu adalah satu millah (الكفر ملة واحدة ) sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi'I, Dawud dan Ahmad bin Hambal, berdasarkan firman Alloh: "لكم دينكم ولي دين " (Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku) dan sabda Rosululloh: "لا يتوارث أهل الملتين " (Penganut dua millah yang berlainan tidak saling mewarisi) yang dimaksud adalah Islam dan kafir, dengan dalil sabda Rosul: "لا يرث المسلم الكافر " (Orang muslim tidak mewarisi oran kafir).[1]
A. MUSLIM
Yaitu orang yang memeluk agama Islam, baik aqidah, ibadah ataupun aturan hidup. Orang-orang yang secara dhohir memiliki identitas keislaman yang syah secara syar'I, maka ia dihukumi sebagai orang Islam tanpa harus meneliti apa yang tersembunyi dalam hatinya. Islamnya syah secara syar'I,.dan kita menghukumi orang secara dhohir. Dan begitu pula jika seseorang itu diketahui melakukan amalan yang membatalkan keislaman maka kita hukumi pula sebagaimana yang nampak oleh kita, atas batalnya keislaman orang tersebut, dan tentunya setelah mengkaji syarat-ayarat dan mawani'nya dalam menghukumi kekafiran seseorang .
Adapun identitas Islam yang syah secara syar'I adalah:
1. Mengucupkan dua kalimat Syahadat.
Dalilnya adalah sabda Rosululloh:
أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا أن لا إله إلا الله فإذا قالوها عصموا مني دماءهم و أموالهم إلا بحقها وحسابهم على الله
"Aku diutus untuk memerangi manusia sampai merreka mengucapkan laa ilaaha illalloh, maka apabila mereka telah mengucapkannya, darah dan harta mereka tejaga dariku kecuali yang menjadi haknya, dan hisab mereka terserah Alloh." (Hadits ini muttafaq 'alaih dan mutawatir sebagaimana yang dikatakan oleh As-Suyuthi)
Ibnu Hajar berkata:" Dalam hadits ini adalah larangan membunuh orang yang mengucapkan laa ilaaha illalloh walaupun tidak ada tambahannya sedikitpun, akan tetapi apakah hanya dengan hal itu ia menjadi seorang muslim? Yang benar adalah tidak akan tetapi tidak boleh kita bunuh sampai teruji pernyataannya tersebut."(Fathul Bari XII/279)
Dari Usamah beliau berkata:"Rosululloh shalallahu 'alaihi wasallam mengutus kami ke Huroqoh dari Juhainah, lalu kami menyergap dan mengalahkan mereka, lalu saya bersama orang anshor berjumpa dengan seseorang dari mereka, maka setelah kami menguasainya ia mengucapkan laa ilaaha illalloh lalu orang anshor tersebut tidak membunuhnya maka kutusuk ia dengan tombakku sampai mati, maka ketika kami sampaikan hal itu kepada Rosululloh shalallahu 'alaihi wasallam. Beliau bersabda kepadaku:
يا أسامة أقتلته بعد ما قال لا إله إلا الله
"Wahai Usamah, apakah kau bunuh padahal dia telah mengucapkan laa ilaaha illalloh?" Lalu kujawab:"Wahai Rosululloh, ia mengatakanya hanya untuk melindungi dirinya."Beliau bersabda lagi:
يا أسامة أقتلته بعد ما قال لا إله إلا الله
"Wahai Usamah, apakah kau bunuh padahal dia telah mengucapkan laa ilaaha illalloh?" Dan Rosululloh shalallahu 'alaihi wasallam terus mengulang-ulangnya sampai-sampai saya berangan-angan untuk tidak masuk Islam sebelum hari itu.(Muttafaq 'alaih)
Hadits ini adalah dalil bahwasanya barang siapa mengucapkan laa ilaaha illalloh, maka ia adalah seorang muslim yang darahnya terjaga, tidak boleh dibunuh dan dihalalkan darahnya kecuali ia melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang menjadikan ia kafir.
2. Pengakuan seseorang bahwa ia seorang muslim atau ia berkata aku beriman kepada Alloh atau perkataan yang senada dengan hal itu.
Dalilnya adalah dari Al-Miqdad bin Al-Aswad ra. Beliau berkata:"Wahai Rosululloh, apa pendapatmu kalau saya bertemu dengan orang kafir lalu ia memerangiku dan memotong salah satu tanganku dengan pedangnya, lalu ia berlindung dengan sebuah pohon dan berkata:"Saya masuk Islam." Apakah saya boleh memeranginya setelah ia mengucapkan kata-kata tersebut."Beliau menjawab
لا تقتله فإن قتلته فإنه بمنزلتك وإنك بمنزلته قبل أن يقول كلمته التى قالها
"Jangan kau bunuh dia, jika kamu bunuh dia, maka sesungguhnya status dia adalah status kamu dan status kamu adalah status dia sebelum dia mengucapkannya."(HR. Muslim dari Al-Miqdad bin Al-Aswad)
Dan ada riwayat dari hadits Ibnu Umar ra. Pada sebuah sariahnya Kholid bin Al-Walid ke Bani Judzaimah, bahwasanya ada sebuah kaum yang tidak bia mengusapkan:" أسلمنا " (Kami masuk Islam), lalu mereka mengucapkan: "صبأنا صبأنا " karena mereka tidak bisa mengucapkan:" أسلمنا " ….. (HR. Ahmad dan Al-Bukhori dari Ibnu Umar ra.) Dan Kholid membunuh orang yang bersamanya dan memerintahkan pula untuk membunuh tawanan, lalu Rosululloh mengingkari (tidak menerima) perbuatan Kholid dan membayar diyat kepada keluarga yang terbunuh. Asy-Syaukani berkata:" Pengarang menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwasanya orang kafir itu menjadi muslim apabila mengucapkan dua kalimat syahadat, walaupun dengan cara isyarat, tidak secara jelas."(Nailul Author VII/223)
3. Sholat.
Dari Anas bin Malik ra.beliau berkata, bahwasanya Rosulilloh shalallahu 'alaihi wasallam Bersabda:
من صلى صلاتنا واستقبل قبلتنا وأكل ذبيحتنا فذلك المسلم الذى له ذمة الله ورسوله فلا تحقروا الله في ذمته
"Barangsiapa yang sholat sebagaimana sholat kita, menghadap kearah kiblat kita dan memakan smbelihan kita, maka dia adalah seorang muslim, dia mendapat perlindungan Alloh dan Rosul-Nya, dan janganlah kalian menghinakan orang yang telah mendapatkan perlindungan Alloh."(HR. Al-Bukhori)
Dan dari beliau lagi, bahwasanya Rosululloh bersabda:
نهيت عن قتل المصلين
"Aku dilarang untuk membunuh orag yang sholat."(HR. Ath-Thobroni dalam kitab Al-Ausath dari Ans ra. dengan sanad shohih).
4. Adzan.
Dari Anas radiyallahu 'anhu., beliau berkata:"Rosululloh shalallahu 'alaihi wasallam apabila menyerang sebuah kaum, beliau tidak menyerang kecuali setelah subuh, apabila terdengar adzan maka beliau batalkan dan apabila tidak terdengar adzan maka beliau sergap setelah subuh."(HR. Ahmad dan Al-Bukhori)
5. Masjid
Dalam sebuah hadits dari 'Ashim Al-Muzani, beliau berkata bahwasanya Rosululloh shalallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda:
إذا رأيتم مسجدا أو سمعتم مؤذنا فلا تقتلوا أحدا
"Apabila kalian melihat masjid atau mendengar sura adzan, maka janganlah kalian membunuh seoranpun."(Fathul Bari II/90)
As-Syaukani berkata:" Hadits ini adalah dalil bahwasanya masjid di sebuah negeri adalah cukup sebagai tanda bahwasanya penduduk negeri tersebut adalah muslim, walaupun tidak terdengar adzan dri mereka, karena Rosululloh shalallahu 'alaihi wasallam menyuruh pasukannya untuk memilih salah satu dari dua tersebut yaitu: masjid atau suara adzan." (Nailul Author VII/277-278)
6. Suara takbir.
Rosululloh shalallahu 'alaihi wasallam pernah mendengar seseorang mengatakan:" Allohu Akbar … Allohu Akbar!" Lalu beliau bersabda:" على الفطرة (berada pada fitrohnya)." Lalu orang tersebut mengucapkan:
أشهدأن لاإله إلا الله" " Maka Rosululloh shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:"خرجت من النار "(engkau bebas dari neraka)."(HR. Ahmad, Muslim dan At-Tirmidzi)
Asy-Syaukani berkata:"Sabda beliau على الفطرة menunjukkan bahwasanya takbir adalah termasuk dari ciri-ciri khusus orang Islam, dan hal ini syah untuk dijadikan patokan bahwa penduduk suatu negeri yang terdengar suara takbir itu beragama Islam.(Nailul Author II/278)[2]
Orang yang kita ketahui terdapat salahsatu atau lebih dari tanda-tanda di atas, maka kita hukumi dia sebagai orang Islam, kita harus memberikan hak dia sebagai orang Islam, seperti kecintaan, perwalian, pertolongan dan hak-hak yang lain.
Adapun orang yang memiliki tanda-tanda yang hanya dimiliki oleh orang Islam, namun secara syar'I tanda tersebut tidak dijadikan patokan untuk menghukumi seseorang sebagai seorang muslim, maka orang tersebut tidak dihukumi kafir atau muslim kecuali setelah diteliti lebih lanjut. Adapun tanda-tanda tersebut adalah:
1. Mengucapkan salam.Alloh berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي َسِبيلِ اللهِ فَتَبَيَّنُوا وَلاَ تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلاَمَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَعِندَ اللهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةُُ كَذَلِكَ كُنتُمْ مِّن قَبْلُ فَمَنَّ اللهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوا إِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
" Wahai orang –orang yang beriman, apabila kamu pergi berperang dijalan Alloh, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu: " kamu bukan seorang mukmin " dengan maksud mencari harta benda didunuia, karena disisi Aloh ada harta yang banyak. Begitu juga kedadaan kamu dahulu kemudian Alloh menganugerahkan nikmatnya kepadamu, maka telitilah. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisa': 94)
Pada penafsiran ayat ini terdapat sebuah riwayat bahwasannya sariyah yang dikirim oleh Nabi shalallahu 'alaihi wasallam berjumpa dengan seseorang yang membawa sedikit ghonimah, maka dia mengucapkan salam atau berkata Laa ilaaha illalloh Muhammadur Rosululloh, lalu dibunuh oleh seseorang dari sariyah tersebut. Lalu ketika pulang diceritaknlah peristiwa itu kepada Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau bersabda: " Kenapa kamu membunuhnnya padahal ia telah masuk Islam?" Shahabat menjawab: " Ia mengicapkannya untuk menyelamatkan diri dari pembunhan, lalu rosululloh bersabda: "Kenapa tidak kamu belah saja hatinya?" Lalu Rosul shalallahu 'alaihi wasallam membayar diyat orang tersebut dan mengembalikan ghonimahnya pada keluarganya (HR Ahmad, Tirmdzi dan beliau mengatakan hadits ini hasan sohih dan diriwayatkan juga oleh Al Hakim hadits ini shohihul isnad dan diriwayatkan juga oleh Bukhori dan Ibnu Abbas dengan lafadz yang hampir sama)
Ibnu Hajar berkata: "Ayat tersebut adalah dalil, bahwasanya orang yang menunjukan tanda-tanda keislaman darahnya tidak halal sampai dia diuji, karena salam itu adalah penghormatan atas orang muslim, sedangkan penghormatan jahiliyyah dahulu tidak seperti itu, maka salam adalah tanda keislaman. (Fathul Baary VIII / 259)
Al-Qurtubi berkata: " Disini terdapat sebuah pemahaman yang besar yaitu: hukum itu mengikuti perkiaraaan dan hal-hal yang nampak, bukan secara pasti dan meneliti rahasia. Maka apabila seseorang ada yang mengucapkan salam, maka jangan dibunuh sampai diketahui apa yang ada sibalik perkataan nya itu, karena perkataany itu masih bermasalah (Tafsir Al Qurtubi 5/329)
2. Terdapat tanda-tanda yang hanya digunakan orang Islam, namun secara syar'I bukanlah identitas yang diakui secara sah, seperti memakai pakaian kaum muslimin, memanjangkan jenggot dan rambut, memakai sorban dan lain-lain yang semacam itu. Pengarang "As-Sairul Kabir " mengatakan:" Apabila kaum muslimin memasuki kampung dari perkampungan orang muyrik secara mendadak, maka mereka tidak mengapa untuk membunuh laki-laki yang mereka temui, kecuali yang memiliki tanda-tanda orang Islam atau ahlu Dzimmah, maka ketika itu mereka harus meneliti sampai jelas statusnya (As Sairul Kabir IV/ 1444) [3]
B. ORANG KAFIR
Yaitu orang-orang yang asli kafir baik itu Yahudi, Nasrani, Majusi atau yang lain, maupun orang-orang murtad, yaitu orang Islam yang mempunyai ideologi kafir seperti sosialis, sekuler, komunis dan yang lain atau orang Islam yang melakukan amalan yang membatalkan tauhid, seperti mencela Alloh, Rosul shalallahu 'alaihi wasallam dan meninggalkan sholat menurut pedapat yang paling kuat dari dua pendapat para ulama'.[4]
KAFIR HARBI
1. Pengertian Secara Bahasa
Kata harby merupakan nisbah kepada kata harb, yang merupakan lawan kata dari kata as silmu ( perdamaian ). Kata harb berarti perang atau lawan yang memusuhi. Dikatakan " ana harbun liman haarabani " saya musuh atas orang yang memerangiku. " Fulanun harbu Fulanin" si fulan ( A ) musuh si fulan ( B ), fulan memerangi si fulan. " Fulanun harbun lii" Fulan memusuhiku, sekalipun ia tidak menyerang saya."[5]
2. Pengertian secara Istilah
Artinya adalah orang-orang yang memerangi kaum muslimin atau orang yang bergabung dengan kaum yang memerangi kaum muslimin, baik perangnya fi'liyah maupun mutawaqi'ah. Fi'liyah artinya perang betul-betul terjadi, secara terang-terangan. Sedang Mutawaqi'ah berarti kemungkinan terjadi. Hal ini bisa berasal dari setiap orang kafir yang tidak terikat dengan perjanjian damai maupun dzimmah, baik telah sampai kepadanya dakwah ataupun belum.[6]
DR. Ismail Luthfi al Fathani menyatakan: "Kata harbi adalah kata yang disebutkan secara umum untuk orang yang bergabung dengan darul harbi dari orang-orang yang tidak berdien Islam dan tidak ada ikatan perjanjian antara dia dengan kaum muslimin, baik ia itu ahlu kitab maupun bukan."[7]
3. Yang Termasuk Kafir Harbi
Berdasarkan pengertian di atas, para ulama mengkategorikan beberapa golongan ke dalam kafir harbi. Mereka adalah :
· Orang-orang kafir yang berbuat makar dan secara langsung memerangi kaum muslimin (lewat kontak senjata). Misal bisa kita ambil antara lain adalah pemerintah Amerika yang berdiri di belakang segala pemberangusan umat Islam yang ingin menegakkan Islam, pemerintah Budha Birma, pemerintah Hindu India, pemerintah komunis Rusia dan China, pemerintah kristen ortodoks Serbia dan lain-lain.
· Orang-orang kafir yang mengumumkan perang terhadap Islam dan ummatnya, dengan cara antara lain: embargo ekonomi, mengganggu ( mengusik ) dien sebagian kaum muslimin, membantu musuh-musuh Islam dalam memerangi kaum muslimin, mengancam akan mmerangi kaum muslimin dan cara-cara lainnya.
· Orang-orang kafir yang tidak terikat perjanjian damai dengan kaum muslimin dan mereka tidak menampakkan permusuhan.
Ketiga kelompok ini boleh jadi telah sampai kepada mereka dakwah Islam, namun boleh jadi juga belum. Dalam istilah fiqih, mereka semua dihitung sebagai kafir harby.[8] Dengan demikian, maka pada dasarnya seluruh orang kafir itu statusnya adalah harbi kecuali mereka yang menjadi dzimmatul muslimin.
4. Perlakuan Terhadap Kafir Harbi
a. Terhadap nyawa dan harta mereka[9]
Orang kafir harbi ini halal darah dan hartanya selama ia tidak memeiliki ikatan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Kenapa demikian ? Karena dalam syariah Islam, yang menjadikan harta dan nyawa terjaga hanyalah satu dari dua hal berikut :
1. Iman, atau
2. Al amaan ( jaminan keamanan ).[10]
Selama mereka tidak mempunyai ikatan perjanjian damai dengan kaum muslimin, mereka tidak boleh masuk ke dalam negara Islam karena ia membawa bahaya bagi kaum muslimin. Kalau ia masuk ke negara Islam, maka harta dan darahnya halal. Ia boleh dibunuh dan diambil hartanya, sebagaimana juga boleh diambil sebagai budak atau diampuni.[11]
Ibnu Taimiyah ketika menjelaskan tentang harta fai', beliau berkata:" Dan dinamakan fai' karena Alloh mengembalikan harta tersebut dari orang-orang kafir kepada kaum muslimin, karena pada asalnya Alloh menciptakan harta tersebut untuk membantu dalam beribadah kepada-Nya, karena sesungghnya Alloh menciptakan makhluq ini hanya untuk beribadah kepada-Nya. Maka orang-orang kafir itu telah menghalalkan jiwa mereka karena karena mereka tidak menggunakannya untuk beribadah kepada Alloh dan juga menghalalkan harta mereka karena mereka tidak memanfaatkannya untuk beribadah kepada Alloh, mereka menghalalkannya untuk kaum muslimin yang beribadah kepada Alloh dan Alloh mengembalikan hak mereka sebagaimana mengembalikan harta warisan seseorang yang terampas meskipun harta tersebut belum pernah berada di tangannya."[12]
Tidak ada perbedaan pendapat di antara kaum muslimin bahwa saat terjadi perang, boleh membunuh orang musyrik yang sudah dewasa, laki-laki dan ikut berperang. Yang masih menjadi perbedaan pendapat di antara mereka adalah perlakuan terhadap kafir harbi yang tertawan.
Mereka juga bersepakat bahwa tidak boleh membunuh anak-anak dan wanita musyrikin selama wanita dan anak-anak tersebut tidak ikut berperang. Jika wanita atau anak tadi ikut ambil bagian dalam perang, maka darahnya halal dan harus dibunuh.Islam mengajarkan bahwa tidak boleh dibunuh kecuali orang yang terlibat perang atau yang orang yang membantu orang-orang musyrik dalam memerangi kaum muslimin, baik dengan harta pikiran ataupun sarana lainnya. Dan mereka berselisih pendapat tentang orang selain wanita dan anak-anak yang bukan ahlul qital. Hal ini akan kami bahas dan satu pembahasan tersendiri insya'alloh.
Dr. Abdulloh Azzam berkata:" Para imam madzhab yang empat telah bersepakat bahwa setiap hal yang membawa maslahat bagi kaum muslimin dan membawa kerugian bagi orang-orang kafir saat terjadi perang atau saat i'dad, boleh dilakukan baik itu membunuh orang, membunuh hewan, menebangi tanaman maupun merusak bangunan, karena maksud dilancarkannnya perang adalah untuk menghilangkan fitnah, menyebarkan dakwah dan meninggikan dien Allah Ta'ala. Kalau membunuh manusia yang merintangi dakwah diperbolehkan, tentunya merusak harta benda dan membunuh hewan lebih diperbolehkan lagi, meskihal itu akan menyebabkan bahaya bagi mereka atau memaksa mereka untuk tunduk pada dien Islam.
Dasar yang menjadi pijakan para ulama' adalah hadits Ibnu Umar yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwasanya Rasulullah menebangi pohon korma Bani Nadzir dan membakarnya. Allah Ta'ala kemudian menguatkan peristiwa ini dengan turunnya ayat kelima dari surat Al Hasyr. Disebutkannya kata " lienah " dalam ayat ini adalah untuk menunjukkan bahwa yang boleh ditebang adalah tanaman yang tidak dijadikan makanan, adapun yang dijadikan makanan oleh orang kafir tetap tidak boleh ditebang.[13]
b. Menjadikan budak
Ibnu Rusyd berkata :"Boleh menjadikan orang kafir harbi dengan segala macamnya sebagai budak berdasarkan ijma', baik itu laki-laki maupun perempuan, anak-anak, dewasa maupun orang tua. Yang masih ada perselisihan hanyalah nasib para pendeta. Sebagian ulama tidak memperbolehkan membunuh atau menjadikan mereka sebagai budak. Mereka mendasarkan sabda Rosululloh shallallahu 'alaihi wasallam :
فذرهم و ما حبسوا أنفسهم إليه
" Biarkanlah mereka dengan apa yang mereka kerjakan (beribadah secara total dalam gereja)."
Juga mengikuti yang dilakukan Abu Bakar[14]
TINJAUAN TERHADAP ORANG KAFIR MASA KINI
Telah disebutkan bahwa orang kafir dzimmi membayar jizyah kepada imam ( kepala negara ) negara Islam, sedang ia boleh menjalankan keyakinannya serta mendapatkan jaminan keselamatan harta dan nyawanya. Adapun orang kafir yang tidak terikat perjanjian damai dengan umat Islam dan menolak menerima Islam atau memnayar jizyah, maka ia disebut sebagai kafir harbi.
Jika demikian keadaannya, saat ini hanya ada satu kata tentang orang non muslim , yaitu "KAFIR HARBI", kecuali jika memang ada negara ( daulah ) Islam yang sudah menerapkan syariat Islam dan ada orang kafir yang menetap di sana dengan membayar jizyah dan mentaati hakum Islam. Kita tidak mengetahui apakah Afghanistan dan lain-lainya, telah mempraktekkan masalah ini. Wallahu 'a'lam bish Shawab.
Lajnah Syar'iyah dari Jama'atul Jihad menyatakan:"Adapun Ahlul Kitab baik Yahudi maupun Nasrani di negara-negara kita bukanlah Ahludz Dzimmah karena mereka tidak membayar jizyah kepada kaum muslimin dan tidak berpagang taguh dengan syariat Islam, akan tetapi mereka mempunyai hikum kesamaan dengan kaum muslimin di dalam undang-undang wadl'I yang kafir. Selain itu mereka memerangi kaum muslimin baik secara langsung maupun dengan cara memberikan bantuan kepada musumusuh kaum muslimin dengan senjata dan harta dan dengan begitu mereka telah keluar dari setatus hukum ahludz dzimmah menurut syarat-syarat yang tersebut di dalam Watsiqoh 'Umariyah yang tilah ditetapkan oleh Umar untuk penduduk Syam.
Pada masalah ini tersebar syubhat yang intinya adalah bahwasanya Ahlul Kitab yang tinggal di negara-negara kaum musimin pada jaman sekarang ini tidak ada yang ada yang mewajibkan mereka untuk masuk kepada golongan ahludz dzimmah, oleh karenanya tidak selayaknya menggangngu mereka karena darah dan harta mereka ma'shum (terjaga). Dan jawaban terhadap syubhat ini dari beberapa segi:
1. Sesungguhnya Ahlul Kitab yang tidak menunaikan jizyah dan kedudukan mereka yang sama dengan kaum muslimin adalah sebab gugurnya dzimmah mereka dan berubahnya mereka menjadi orang-orang kafir harbi.
Asy-Syaukani berkta:"Penetapan dzimmah mereka bersyarat dengan penyerahan jizyah dan berpegang dengan syarat-syarat lain yang telah ditentukan kaum muslimin terhadap mereka, apabila mereka tidak melaksanakan syarat-syarat tersebut maka setatus mereka kembali lagi, harta dan darah mereka halal, hal ini sudah maklum dan tidak ada perselisihan lagi. Dan terdapat dalam perjanjian Umar, apabila mereka menyelisih dari syarat-syarat tersebut maka tidak ada dzimmah bagi mereka, dan halal bagi kaum muslimin untuk memperlakukan mereka sebagaimana memperlakuan orang-orang yang keras kepala dan nyleneh.
2. Hukum mereka sama saja baik ditinjau dari status diri mereka sendiri atau atau ditinjau dari pemerintah kafir yang mengaku Islam. Orang kafir darah dan darahnya adalah halal bagi kaum muslimin, kecuali dengan jaminan keamanan yang syah dari Imamul Muslimin.
3. Alasan seperti ini adalah alasan batil, karena termasuk beralasan dengan taqdir secara salah, karena tegak dan runtuhnya Daulah Islam adalah taqdir yang telah ditetapkan Alloh subhanahu wata'ala.
Tentang batilnya beralasan dengan taqdir, Ibnu Taimiyah berkata:"Taqdir bukanlah alasan bagi manusia, akan tetapi taqdir itu diimana bukan untuk alasan, dan orang yang beralasan dengan taqdir adalah rusak akal dan agamanya, dan bertentangan. Seandainya taqdir itu bisa dijalasan maka tidak ada orang yang disesalkan, dihukum dan diqishosh. Dan dengan demikian orang yang beralasan dengan taqdir ini, ketika harta, jia dan kehormatannya didzolimi, ia tidak membela diri dari orang mendzoliminya, tidak marah dan tidak mencelanya, dan ini tidak mungkin baik secara syar'I maupun secara thobi'i.(Majmu' FatawaII/323-326).
4. Sesungguhnya keadaan Ahlul Kitab pada hari ini tidak sebagaimana Ahlul Kitab pada masa lalu, sebagaimana yang kami katakan diatas, Mereka memerangi kaum muslimin baik secara langsung menjajah, memusuhi dan yang lain atau dengan cara memberikan bantuan kepada musuh-musuh Islam, baik dengan senjata, harta, ketrampilan dan yang lain.[15]
Umar bin Mahmud Abu Umar berkata:"Dalam hal ini, orang Yahudi dan Nasrani yang asli kafir tidak bisa dikatakan sebagai ahludz dzimmah, karena ahludz dzimmah dalam istilah ahli fiqih adalah orang-orang kafir yang masuk ke dalam jaminan keamanan di Daarul Islam. Dan apabila tidak ada Daarul Islam maka tidak ada ahludz dzimmah, akan tetapi mereka adalah orang-orang harbi."[16]
TINJAUAN TERHADAP PENDUDUK DAARUR RIDDAH
Di atas telah kita sebutkan fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika ditanya tentang daerah Mardin yang dahulunya berhukum dengan hukum Islam kemudian dipimpin oleh orang-orang yang memberlakukan hukum kafir. Orang-orang Islam diperlakukan sebagaimana mestinya, dan orang-orang yang keluar dari syariat Islam diperangi. Dengan demikian, maka kita harus jelas siapa saja yang mewakili negara kafir tersebut, yang kita katakan murtad, sehingga kita akan lebih tepat untuk mendudukkan status mereka. Kalau kita katakan sebuah negara itu telah murtad dikarenakan telah mengganti hukum Alloh dengan hukum kafir, maka mereka yang bertanggung jawab atas dosa ini menurut Syaikh Ahmad Syakir ada tiga golongan, yaitu:
1 Dewan legislatif negara tersebut {MPR/DPR} yang menyusun perundang-undangan tersebut. Dan yang paling bertanggung jawab adalah pemimpin tertinggi negara {Presiden/PM} tersebut, yang telah memerintahkan untuk membuat undang-undang kafir. Syaikh Ahmad Syakir berkata:" Sesungguhnya di dalam membuat undang-undang tersebut ia berkeyakinan atas kebenaran undang-undang tersebut dan apa yang ia kerjakan, maka dalam hal ini masalahnya sudah jelas walaupun ia puasa, sholat dan menyangka bahwa dirinya seorang muslim."(Lihat: Ta'liq beliau terhadap Musnad Imam Ahad, VI/303)
2 Para pembela yang memperjuangkan dan mempertahankan undang-undang tersebut {lembaga eksekutif}. Beliau berkata tentang mereka:"Sesungguhnya ia membela kebatilan dari kebenaran, maka apabila dalam membela kebatilan yang bertebtangan dengan Islam ia berkeyakinan bahwa yang ia bela itu benar maka ia hukumnya seperti temannya yang membuat undang-undang tersebut, dan kalau ia tidak mempunyai keykinan seperti itu maka ia adalah munafiq murni walaupun ia beralasan bahwa ia hanya melaksanakan kewajiban dia sebagai penjaga undang-undang tersebut." (Lihat: Ta'liq beliau terhadap Musnad Imam Ahad, VI/305).
3 Pelaksana hukum tersebut {lembaga yudikatif} yaitu para hakim yang memutuskan perkara dengan berpedoman dengan undang-undang tersebut. Beliau berkata:" Mungkin ia mempunyai alasan ketika memutuskan perkara dengan berpedoman undang-undang tersebut yang sesuai dengan hukum Islam, walaupun setelah diteliti dengan detail, alasan ini tidak berarti sama sekali. Adapun jika ia memutuskan perkara dengan hukum yang tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah-Sunnah, maka jelas-jelas ia masuk kedalam maksud hadits:
و على المرء السمع و الطاعة فيما أحب أو كره إلا أن يؤمر بمعصية فلا سمع و لا طاعة
"Kewajiban seseorang adalah mendengar dan taat pada perintang yang ia sukai atau ia benci kecuali kalau diperintah untuk berbuat maksiyat, maka tidak ada kata mendengar dan taat."
Sesungguhnya dia telah diperintahkan untuk tidak mentaati undang-undang teryang menurutnya ia harus mentaatinya itu, karena undang-undang tersebut menyuruhnya untuk bermaksiat, bahkan lebih dari hanya sekedar maksiat yaitu menyelisihi kitab Alloh dan sunnah Rosul-Nya, maka dalam hal ini tidak ada istilah mendengar dan taat, apabila dia mendengar dan taat maka dosanya sama dengan yang meme, yang telah membuat undang-undang tersebut. ."(Lihat: Ta'liq beliau terhadap Musnad Imam Ahad, VI/305)
Umar bin Mahmud Abu Umar barkata:" Sebab kekafiran mereka adalah pada masalah perundang-undangan, maka pembuat undang undang batil ini, hakim yang berpedoman dengan undang-undang ini, pembelanya, penyeru kepada undang-undang tersebut dan yang mengindah-indahkannya, merekalah yang kita katakan kelompok murtad itu."[17]
Dan sudah maklum bahwasannya harus diperhatikan mawani'ut takfir pada orang-orang yang melakukan perbuatan kufur. Orang yang melakukan kekafirn secara umum dihukumi kafir, adapun didalam menghukumi secaperorangan maka harus diperhatikan mawani'ut takfir seperti kebodohan, ta'wil, ikroh, dll. Maka jika orang yang melakukan kekafiran itu bodoh, dengan kebodohan yang dibenarkan oleh syar'I dan tidak meremehkan didalam mencari kebenaran maka dia tidak kafir begitu juga orang yang menta'wilkan sebuah dalil dhaif yang dia kira syar'I atau dia menta'wilkan maksudnya yang msih masuk dalam cakupnnya baik secar syar'I maupun bahasa maka dia tidak kafir, dan barangsiapa yang terpaksa dengan keterpaksaan yang dibenarkan yang mana dia tidak mampu menolak dan menghindar maka dia juga tidak kafir.[18]
Umar bin mahmud berkata :" Apakah jika kita menghukumi bahwa sebuah kelompok itu telah murtad maka berarti setiap anggota personalnya murtad kemudian kita hukumi bahwasannya meeka itu kekl berada dalam neraka jahanam ? . pembahasan masalah ini banyak bercabang dan dalil-dalil untuk itu perlu untuk dikaji dan dipelajiri dan sungguh benar-benar aib menuduh orang yang mengkafirkan mereka secara perorangan bahwasannya mereka itu orang-orang yang ghulu dan pelaku bid'ah atau menuduh orang – orang yang tidak menghukumi mereka secara personal bahwsannya mereka itu ahlul irja' dan bid'ah, karena masalah ini masalah pandangan yang memungkinkan untuk berselisih peyang kembali kepada penerapan mawani'ut takfir terhadap kelompok tersebut dan bukanlah masalah bahwasannya perwalian secara dhahir itu tidak dihukumi kafir kecuali kalau jelas – jelas diikuti perwalian secara bathin, orang yang berpendapat seperti ini adalah orang murji'ah extrim. Akan tetapi hal ini tidak menghalangi kita untuk menghukumi terhadap banyak dari personal-personal kelompok tersebut dengan kekafiran atau kemurtadan, karena sudah jelas bagi kita bahwasannya mawaniut takfir itu tidak ada pada mereka.[19]
BAGAIMANA DENGAN RAKYAT
Adapun rakyat jika ia rela dengan para penguasa tersebut dan mengikunya maka rakyat yang semacam ini juga termasuk golongan para penguasa tersebut. Kemudian Abdulloh bin Umar bin Sulaiman Ad-Duamiji ketika memaparkan pendapat Syaikh Ahmad Syakir diatas beliau menambahkan bagian keempat yaitu:
Rakyat yang rela dan mengikuti undang-undang kafir tersebut. Rakyat hendaknya tidak berhukum kepada undang-undang tersebut, memberikan keterangan bahwasanya hal itu haram, dan ia harus berusaha untuk menumbangkannya dan berhukum dengan syariat Alloh semampu dia dan Alloh tidaklah memberikan beban kecuali yang mampu dipikul. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwasanya Rosululloh bersabda:
إنه يستعمل عليكم أمراء فتعرفون و تنكرون فمن كره فقد برئ ومن أنكر فقد سلم ولكن من رضي وتابع
"Sesungguhnya kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang melakukan kemungkaran, maka barangsiapa membenci ia terbebas dari dosa, dan barngsiapa mengingkarinya maka ia telah selamat, akan tetapi yang mendapat dosa adalah orang yang rela dan mengikuti."
Adapun dalam keadaan terpaksa dan darurat yang diperbolehkan secara syar'I, maka setiap keadaan darurat diberikan kelonggaran sesuai dengan kadar daruratnya.[20]
Kewajiban setiap muslim ketika melihat kemungkaran adalah mengingkarinya baik dengan hati, lisan maupun tangan atau kekuatan, sebagaimana sabda Rosululloh:
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فأن لم يستطع فبقلبه و ذلك أضعف الإيمان
" Barang siapa melihat kemungkaran haruslah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman." (HR Muslim).
Dalam hal ini Ibnu Rojab mengatakan:" Adapun mengingkari kemungkaran dengan hati adalah suatu keharusan, maka ketika soerang sudah tidak mengingkarinya dengan hatinya hal ini menunjukkan bahwa imannya telah hilang dari hatinya." Adapun mengingkarinya dengan lisan dan tangan beliau mengatakan:" Dan adapun mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan adalah sesuai dengan kemampuan."[21]
Abdulloh bin Umar bin Sulaiman Ad-Duamiji berkata tentang memberontak kepada pemerintah kafir dan murtad:"Hal ini juga merupakan suatau kesepakatan yaitu memberontak dan menggulingkannya dengan pedang bagi siapa saja yang mampu melakukannya, adapun jika tidak mempunyai kemampuan untuk menggulingkannya dengan pedang, maka harus mencari jalan yang paling tercepat untuk menggulingkannya, dan membebaskan kaum muslimin dari kekuasaan pemerintah terseebut walaupun harus bersusah payah, hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ubadah yang telah disebutkan tadi yaitu:
…. و ألا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
"….. dan agar kami tidak memberontak kecuali jika melihat kekafiran nyata yang menjadi alasan di sisi Alloh." (Mutafaq 'alaihi)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:" Jika pemerintah melakuakan kekafiran yang nyata, maka tidak boleh mentaatinya dalam hal itu, bahkan wajib berjihad melawannya, sebagaimana yang tersebdalam hadits ini. (Yaitu hadits Ubadah yang tersebut di atas). (Fathul Bari XIII/7)
Dan beliau berkta pada halaman yang lain:"Sesungguhnya seorang pemerintah kafir itu harus dipecat menurut ijma'. Kaum muslimin harus melakukan hal itu, barang siapa yang mampu mengerjakannya ia mendapat pahala dan bagi yang memberikan toleransi mendapatkan dosa dan bagi yang tidak mempunyai kekuatan wajib hijroh dari negeri tersebut." (Fathul Bari XIII/123)[22]
[1] Lihat Al-Jami' Li Ahkaamil Qur'an, karangn Al-Qorthubi II\94.
[2] Diringkas dari Jama'atul Jihad Aqidatan wa Manhajan, hal.113-117
[3] ibid, hal. 118-119
[4] Al-Jihad wal Ijtihad, hal. 73
[5] Lisanu al 'Arab I / 303.
[6] Al Mutli' 'ala Abwab al Muqni' lil Ba'ly hal. 226, Al Madkhal li al Fiqhi al Islami li Muhammad Salam Madkur, hal. 62, lihat Al Isti'anah hal. 131.
[7] Ikhtilafu ad Darain hal. 141.
[8] Ad Duraru as Saniyatu fi al Ajwibati an Najdiyati VII / 397, lihat Al Isti'anatu hal 131.
[9] Al Fiqhu al Islami VI / 421, Bidayatu al Mujtahid III / 411, Fi al Jihad Adab wa Ahkam hal. 13, Al Majmu' Syarhu al Muhadzab XXI / 54-56.
[10] Bada'i'u ash Shana-i' VII / 130.
[11] Al Mughni VIII / 523, At Tasyri' al Jina-i al Islami I / 277.
[12] Majmu' Fatawa XXVIII/276
[13] Hadits Bukhari no. 4031, Muslim no. 1746, al Baghawi no. 12694, Abu Daud no. 2615, Tirmidzi no. 1552 dan al Baihaqi IX / 83, Fi al Jihad Adab wa Ahkam hal 22.
[14] Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd I/279 (Al Muwatho' II / 447, al Baihaqi IX / 65, al Baghawi no. 2670)..
[15] Lihat Jama'atul Jihad Aqidatan wa Manhajan, hal. 125129
[16] Al-jihad wal Ijtihad, hal.73
[17] Al-Jihaad wal Ijtihad, hal. 74
[18] Jama'atul Jihad, hal. 107
[19] Al-Jihaad wal Ijtihad, hal. 74
[20] Lihat: Al-Imamatul 'Udzma, Abdulloh bin Umar bin Sulaiman Ad-Damiji, hal.108-109
[21] Jami'ul 'Ulum Wal Hikam karangan Ibnu Rojab hal. 320
[22] Al-Imamatul 'Udzma , Abdulloh bin Umar bin Sulaiman Ad-Dumaiji, hal.500-501