Perbincangan masalah aliran sesat masih menarik dan
dikaji oleh banyak pihak. Yang menjadi sorotan mereka adalah sebuah
keheranan bahwa kalangan terpelajar, macam mahasiswa, justru sangat
mudah tersesat di dalamnya. Demikian kecilnyakah kesadaran mereka
menggunakan logika? Dan siapa semestinya yang bertanggung jawab
mematikan perkembangan aliran sesat tersebut?
Pertanyaan pertama paragraf di atas menyentak sebagian besar mahasiswa – setidaknya – penulis. Sebagian lainnya acuh tak acuh. Sejumlah nama yang menjadi jama’ah memang sebuah fakta. Namun apabila menilai mereka representasi mahasiswa jelas banyak yang menolak. Wahana berekspresi dan berkreasi terbuka bagi mahasiswa. Terlepas dari variasi tingkat fasilitasi, baik organisasi intra maupun ekstra kampus dapat menampung potensi, minat dan bakat mahasiswa.
Pemberitaan media mengenai aliran-aliran baru (Islam) sangat genjar beberapa bulan yang lalu. Kehebohan Al-Qiyadah Al-Islamiyah – setelah sebelumnya penganut Al-Qur’an Suci mengemuka – mampu menggeser perbincangan konversi minyak tanah ke gas elpiji. Aliran yang disebutkan pertama kali tercatat sebagai aliran yang paling mendapat sorotan masyarakat. Belum habis rasa was-was masyarakat akan keberadaan aliran pimpinan Ahmad Mushaddeq, hal yang mencengangkan yakni pengakuan tobatnya setelah berdiskusi dengan Kang Said, panggilan akrab K.H. Said Aqil Siradj, ketua PB NU.
Langkah yang Mushaddeq lakukan mendapat respon yang beragam dari para jama’ahnya. Ratusan pengikut di Semarang mengikuti bai’at pertobatan dengan membaca kalimat syahadat di Masjid Besar Kauman pada Jum’at siang (9/11). Berbeda dengan apa yang terjadi di Kabupaten Tegal, sebanyak 18 pengikut Al-Qiyadah pimpinan Heru Muhaimin tidak mau mengucapkan kalimat syahadat yang benar.
Tidak jelas apa yang menjadi medan perjuangan Al-Qiyadah Islamiyah. Demikian juga dengan visi-misi sebagai organisasi yang belum terdoktrinasi keburu bubar. Seolah-olah aliran yang bercikal bakal di Kampung Gunung Sari, Desa Gunung Bunder, Bogor ini hanya mencari sensasi. Keberadaan dan sepak terjang (mantan) jama’ah Mushaddeq hampir tidak tersorot media massa baik media cetak maupun elektronik. Siapa serta bagaimana bentuk tanggung jawab dalam rangka mematikan perkembangan aliran ”sesat” tersebut?
Kehebohan aliran sesat yang masih hangat di memori masyarakat ialah munculnya kelompok Satria Piningit. Kehadirannya ditengarai menghalalkan hubungan badan dengan bukan pasangan suami-istri atau barter pasangan. Apa sebenarnya motif kelompok Satria Piningit Weteng Buwono di bawah komando Agus Imam Solihin. Langkah apa yang perlu dilakukan lembaga seperti MUI selain memberi label ”sesat”.
Memperbaiki bukan menghakimi
Pertanyaan pertama paragraf di atas menyentak sebagian besar mahasiswa – setidaknya – penulis. Sebagian lainnya acuh tak acuh. Sejumlah nama yang menjadi jama’ah memang sebuah fakta. Namun apabila menilai mereka representasi mahasiswa jelas banyak yang menolak. Wahana berekspresi dan berkreasi terbuka bagi mahasiswa. Terlepas dari variasi tingkat fasilitasi, baik organisasi intra maupun ekstra kampus dapat menampung potensi, minat dan bakat mahasiswa.
Pemberitaan media mengenai aliran-aliran baru (Islam) sangat genjar beberapa bulan yang lalu. Kehebohan Al-Qiyadah Al-Islamiyah – setelah sebelumnya penganut Al-Qur’an Suci mengemuka – mampu menggeser perbincangan konversi minyak tanah ke gas elpiji. Aliran yang disebutkan pertama kali tercatat sebagai aliran yang paling mendapat sorotan masyarakat. Belum habis rasa was-was masyarakat akan keberadaan aliran pimpinan Ahmad Mushaddeq, hal yang mencengangkan yakni pengakuan tobatnya setelah berdiskusi dengan Kang Said, panggilan akrab K.H. Said Aqil Siradj, ketua PB NU.
Langkah yang Mushaddeq lakukan mendapat respon yang beragam dari para jama’ahnya. Ratusan pengikut di Semarang mengikuti bai’at pertobatan dengan membaca kalimat syahadat di Masjid Besar Kauman pada Jum’at siang (9/11). Berbeda dengan apa yang terjadi di Kabupaten Tegal, sebanyak 18 pengikut Al-Qiyadah pimpinan Heru Muhaimin tidak mau mengucapkan kalimat syahadat yang benar.
Tidak jelas apa yang menjadi medan perjuangan Al-Qiyadah Islamiyah. Demikian juga dengan visi-misi sebagai organisasi yang belum terdoktrinasi keburu bubar. Seolah-olah aliran yang bercikal bakal di Kampung Gunung Sari, Desa Gunung Bunder, Bogor ini hanya mencari sensasi. Keberadaan dan sepak terjang (mantan) jama’ah Mushaddeq hampir tidak tersorot media massa baik media cetak maupun elektronik. Siapa serta bagaimana bentuk tanggung jawab dalam rangka mematikan perkembangan aliran ”sesat” tersebut?
Kehebohan aliran sesat yang masih hangat di memori masyarakat ialah munculnya kelompok Satria Piningit. Kehadirannya ditengarai menghalalkan hubungan badan dengan bukan pasangan suami-istri atau barter pasangan. Apa sebenarnya motif kelompok Satria Piningit Weteng Buwono di bawah komando Agus Imam Solihin. Langkah apa yang perlu dilakukan lembaga seperti MUI selain memberi label ”sesat”.
Memperbaiki bukan menghakimi
Ulah Mushaddeq memancing amarah umat Islam di tanah air. Pasalnya, ia mempercayai Syahadat baru, mempercayai adanya Nabi/Rasul baru sesudah Nabi Muhammad SAW, dan tidak mewajibkan pelaksanaan sholat, puasa dan haji. Motivasi Mushaddeq megajarkan demikian kita belum mengetahui secara pasti sampai saat ini. Kalau mengacu pada pernyataan bahwa dia mengaku menjadi ”Nabi” baru berarti ada dugaan hanya mencari kekuasaan dan penghambaan (asketisisme).
Sekedar melacak teori, Weber mengutip Goethe, ”asketisisme sebenarnya hendak mengupayakan kebaikan, tapi akhirnya menciptakan kejahatan” (Weber, 1904-5: 172). Pemikiran Weber merupakan teori sosial yang skeptis, yang diarahkan oleh perhatian terhadap kompleksitas, aksi, motivasi individu, bentuk-bentuk asosiasi beserta konsekuensi sosialnya. Bantahan masyarakat terhadap pernyataan Mushaddeq bukan hanya berakibat pada tidak tercapainya penghambaan jama’ah kepada imamnya. Konsekuensi sosial berupa penangkapan pimpinan lapis kedua dan kebawahnya serta jama’ah turut berimbas.
Visi yang menjadi prinsip perjuangan Tan Malaka ini pernah mendapat kritik yang halus dan tajam dari (mantan) guru yang amat dihormatinya, Horensma. Setelah mengetahui murid kesayangannya itu ditangkap di Bandung dan kemudian dipenjarakan di Semarang, sebelum dibuang ke Negeri Belanda, Horensma menulis sebuah surat yang cukup panjang kepadanya.
Mengetahui bahwa Tan Malaka ditangkap karena dituduh terlibat dalam pemogokan karyawan rumah gadai di Yogya/Jawa Tengah, ia tampaknya merasa terpukul sekali, karena menganggap bekas anak didiknya itu telah melanggar hukum yang berlaku dan melawan pemerintahan yang sah.
Dengan perkataan lain, Tan Malaka telah menempuh jalan politik yang melawan sistem yang ada dan berlaku dalam memperjuangkan cita-citanya untuk memperbaiki nasib bangsanya. Dalam suratnya, Hirensma dengan persuasif mengemukakan bahwa ia sama sekali tidak menentang cita-cita luhur Tan Malaka, hanya saja ia amat menyayangkan cara atau jalan yang ditempuhnya itu salaha atau sesat. Oleh karena itu, ia berusaha meyakinkan bekas muridnya itu agar meninggalkan jalan yang sesat itu, sebab kalau tidak ia akan konyol bersama-sama denga cita-citanya.
Ia mengemukakan jalan baru sebagai alternatif yang dianggapnya paling baik bagi Tan Malaka untuk mewujudkan cita-citanya, yaitu jalan yang selama ini ditempuhnya sendiri, dan itu adalah berjuang dari dalam sistem yang ada dan berlaku. Kalau tidak puas dengan sistem itu, perbaikilah dari dalam. Bagaikan seorang idealis moderat, Horensma mengajak Tan Malaka bergerak maju dari dalam dengan tenang, boleh keras tetapi adil, dan selalu berpegang pada ungkapan: ”memperbaiki tanpa menimbulkan rasa pahit”.
Hernawan, guru SMP St. Bellarminus, Trainer di Kontak Center Semarang