Dalam
suatu kesempatan Rasulullah SAW bersabda, “Sekiranya anak Adam
memiliki satu lembah daripada harta, niscaya ia menginginkan lembah
kedua, dan sekiranya ia mempunyai dua lembah, niscaya ia menginginkan
lembah ketiga. Tidak akan memenuhi perut anak Adam melainkan tanah, dan
Allah senantiasa menerima taubat orang yang bertaubat” (HR. Ahmad).
Secara
simplistis, hadits di atas menjelaskan bahwa sifat asli manusia kerap
kali tamak dalam usaha meraup dan mempertahankan segala bentuk rezeki
Allah SWT. Tamak merupakan sifat tercela yang sering kita temui di dalam
kehidupan ini, terlebih di kalangan pemerintahan. Tamak adalah suatu
sifat ingin menguasai atau mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada
orang lain.
Pada umumnya, sifat tamak berkenaan dengan perkara kepuasan dan kemewahan hidup di dunia. Dari
Abu Hurairah ra., Rasulullah SAW bersabda, “Kelak bumi akan memuntahkan
jantung hatinya berupa tiang-tiang emas dan perak. Maka datanglah
seorang pembunuh seraya berkata: ‘Karena inilah aku jadi pembunuh.’
Kemudian datang si perampok, lalu berkata: ‘Karena inilah aku putuskan
hubungan silaturrahim.’ Kemudian datang pula si pencuri seraya berkata:
‘Karena inilah tanganku dipotong.’ Sesudah itu mereka tinggalkan saja
harta kekayaan itu, tiada mereka mengambilnya sedikitpun.” (HR. Muslim).
Orang
yang tamak umpama anjing yang lidahnya senantiasa terjulur ketika
melihat apa yang ada di atas tangan orang lain. Anjing itu tidak
mempedulikan caci maki dan pukulan dari siapapun, kecuali hanya terpusat
untuk memperoleh makanan. Lalu apa bedanya dengan seorang penguasa yang
selalu mengedepankan sifat ketamakan dalam memimpin? Tentu segala perbuatan akan dilakukan demi mendapatkan apa yang diinginkan. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya harta
dan anak-anak adalah perhiasaan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan
yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta
lebih baik untuk menjadi harapan. (QS. Al-Kahfi [18]: 46).
Sejatinya,
manusia cenderung ingin selalu mengejar harta dunia, tanpa disadari
mereka sesungguhnya telah terpengaruh oleh hawa nafsu dan bisikan
syaitan. Akibatnya, mereka dengan tega membunuh, merampok, hingga
memutuskan tali silaturrahim. Padahal, dunia ini diciptakan sebagai
lahan ujian bagi manusia. Akankah kita korbankan ketakwaan kepada Allah
hanya untuk mengejar harta yang fana? Bukankah pemimpin ibarat seorang
penggembala kambing yang harus bertanggung jawab atas segala apa yang
dilakukan gembalanya, yaitu rakyat yang dipimpinnya.
Rasulullah
SAW bersabda, “Pemimpin seumpama penggembala. Ia adalah orang yang
bertanggung jawab terhadap gembalanya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan
At-Turmidzi dari Ibnu Umar).
Oleh. S. Adi Winarko