Biasanya sesuatu yang ideal tidak mudah untuk
diraih, meskipun bisa. Tetapi hanya beberapa persen di antara mereka
yang dapat berhasil. Keluarga bahagia “sakinah mawaddah wa rahmah” yang
tercantum di dalam Alqur’an adalah sesuatu yang ideal, maka untuk
menuju mahkota kebahagiaan seperti yang diidamkan Alqur’an diperlukan
perjuangan yang tidak mudah. Rasulullah memberikan konsep atau
rambu-rambu tentang keluarga sakinah melalui hadits yang diriwayatkan
oleh Ali bin Abi Thalib, beliau bersabda : “Ada empat hal
yang menjadikan seseorang bahagia, yaitu : istrinya shalihah,
anak-anaknya baik, pergaulannya dengan orang-orang baik dan rizkinya dari daerahnya sendiri.” (HR. Al-Dailamy)
Pertama,
istri yang shalihah. Betapa sangat bahagia seseorang mempunyai istri
shalihah. Sebab dia wanita yang jika dipandang menyenangkan, jika bicara
menyejukkan dan jika diperintah patuh dan taat kepada suaminya. Peran
istri sangat luar biasa berat, sehingga jika tidak shalihah amburadul
dan berantakan keluarga itu. Rasulullah menggambarkan bahwa syorga ada
di bawah telapak kaki ibu. Itu artinya, istri (ibunya anak-anak) yang
menjadikan mereka calon-calon penghuni syorga atau sebaliknya.
Istri
shalihah mengasuh dan mendidik anaknya dengan baik, halus, sopan, dan
penuh tanggung jawab, terutama di usia balita (1 – 5 tahun). Menurut
para ahli psikologi, bahwa anak pada usia 1 – 5 tahun adalah masa
pembentukan jiwa. Sehingga kalau pada usia balita, anak diperlakukan
baik, anak akan tumbuh dan berkembang dengan kesehatan mental yang baik.
Begitu juga sebaliknya. Di usia berikutnya (di atas usia balta), sudah
kurang berpengaruh maksimal bagi perkembangan pembentukan mental anak.
Oleh karena itu pada usia balita anak harus difokuskan betul pada
pengasuhan, bimbingan dan pembinaan serta perlakuan yang baik penuh
kasih sayang, jangan sampai disia-siakan atau dibiarkan apalagi
diperlakukan buruk, dibentak, dimarahi, dicubit atau dipukul.
Menjadi
keprihatinan kita bersama kalau masyarakat kita masih rendah tingkat
pendidikannya dan budaya kita yang diwariskan dari nenek moyang kita
kurang kondusif bagi perkembangan pembentukan mental anak yang sehat.
Mereka yang berpendidikan tinggi saja belum tentu dapat mengasuh dan
membimbing anak dengan baik. Ditambah semakin banyaknya wanita buruk,
kurang bermoral dan jauh dari nilai-nilai agama dalam masyarakat kita.
Belum lagi semakin derasnya perkawinan yang dilakukan pada usia dini. Tentu
mereka belum siap menjadi ibunya anak-anak tetapi dipaksa untuk
mengasuh dan membimbing. Lalu apa jadinya generasi penerus bangsa kita.
Kalau sudah rusak, susah memperbaikinya. Ibarat mobil, tentu merawat
lebih mudah daripada memperbaikinya. Karena merawat cukup mengganti oli
dan membersihkan onderdil secaara periodik, sementara memperbaiki mobil harus
mengganti beberapa komponen mobil yang rusak, yang terkadang juga belum
tentu cocok. Sama halnya dengan kesehatan yang kita miliki, tentu
menjaga kesehatan lebih mudah daripada mengobatinya.
Kedua,
generasi atau anak keturunan yang shalih. Tentu tidak mungkin lahir
generasi baik kalau ibu yang melahirkan bukan dari kalangan orang-orang
yang baik. Maka Allah berfirman :” Dan janganlah kamu
menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.”(QS 2:221). Jika seseorang mempunyai istri shalihah seperti
yang digambarkan di atas, tentu akan mudah melahirkan generasi penerus
yang baik, meskipun tidak semuanya. Apalagi doa ibu untuk anak-anaknya
adalah doa yang pasti dikabulkan Allah swt. Sungguh peluang emas ini
tidak akan diabaikan begitu saja oleh wanita-wanita muslimah yang
shalihah. Maka alangkah bahagianya seseorang yang beristri wanita
shalihah yang anak-anaknya baik-baik. Sebab hubungan di
antara mereka dipenuhi dengan rasa kasih sayang. Demikian pula hubungan
ayah dan ibu nampak indah dan harmonis di mata anak-anaknya.
Ketga,
berteman dan bergaul dengan orang-orang baik. Sebab tidak jarang orang
baik menjadi sesat gara-gara bergaul dengan orang jahat. Tidak sedikit
orang-orang tua kita sibuk dengan pekerjaannya, lantas kurang perhatian
terhadap pergaulan anak-anaknya. Ternyata anak-anaknya ditemukan
kecanduan narkoba. Demikian pula orang sukses, kaya raya, tidak sedikit
yang bangkrut dan jatuh miskin karena bergaul dengan buaya darat atau
orang-orang yang berperan seperti musang berbulu ayam. Bergaul dengan
orang-orang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan kepribadian
seseorang meskipun membutuhkan waktu lama tidak sebagaimana pengaruh
negatif. Artinya penjahat yang sadar dan berubah setelah berteman dengan
orang-orang baik tidak begitu banyak dan memerlukan waktu lama.
Sementara orang-orang baik yang jatuh menjadi jahat begitu banyak di
kalangan remaja hanya karena beberapa hari bergaul dengan preman atau
penjahat jalanan. Memperbaiki orang yang sudah baik saja, dalam hal ini
meningkatkan kualitas iman, tidak begitu mudah apalagi memperbaiki
penjahat. Penjahat yang sadar, kecenderungan untuk kembali lagi ke dunia
hitam lebih dominan manakala ada peluang daripada bertahan baik kecuali
bagi mereka yang benar-benar taubat. Ibarat air putih banyak, ditetesi
kotoran sedikit, akan menjadi kotor. Sementara air kotor dicampuri air
putih sebanyak-banyaknya masih tetap kotor, kecuali air laut.
Oleh
karena itu, golongan orang-orang baik harus selalu menjaga kebaikannya
sepanjang masa. Jangan sampai berbuat buruk. Sebab berbuat buruk sekali
saja akan mencoreng citra dan nama baiknya dan hilang kepercayaan
masyarakat terhadapnya. Sementara untuk mengembalikan kepercayaan dan
nama baiknya sangat susah dan memerlukan waktu lama. Ibarat kertas putih
dititik hitam sedikit, hitamnya akan tetap kelihatan.
Demikian pula orang baik yang bergaul atau pernah berkumpul bersama gerombolan penjudi, terkadang dituduh melakukan judi, padahal
dia tidak ikut berjudi dan sama sekali tidak terpengaruh. Akibatnya dia
jatuh namanya di mata masyarakat dan sulit juga untuk mengembalikan
citra baiknya di tengah-tengah masyarakat hanya karena persoalan fitnah
atau gosif. Sedemikian besar dampak pergaulan bagi citra diri dan
kepribadian seseorang. Maka hati-hatilah memilih teman bergaul, apalagi
teman hidup (suami atau istri) yang akan menjadi pendamping sepanjang
hayat.
Keempat, memperoleh
rizki (penghasilan) di daerahnya sendiri. Salah satu aspek penting bagi
terwujudnya kebahagiaan rumah tangga adalah dia bertugas atau melakukan
aktivitas di wilayahnya sendiri, tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Karena aspek silaturahim sangat penting bagi kehidupan setiap insan
sebagai mahluk sosial. Apalagi bagi anggota keluarga yang masih sangat
membutuhkan sentuhan hangat dan kasih sayang dari orang tuanya. Tetapi
entah mengapa perkembangan kehidupan manusia justru berbalik arah. Dulu
orang-orang tua kita bekerja sebagai petani, menggarap sawah tidak jauh
dari tempat tinggalnya, Sekarang anak-anak kita gengsi tidak mau jadi
petani, lebih baik jadi buruh atau pegawai meskipun jauh dari orang tua
atau tempat tinggalnya. Lebih parah lagi sawah-sawah pertanian yang dulu
miliknya sekarang berpindah tangan ke tuan-tuan tanah, karena terjerat
rentenir atau untuk biaya sekolah anaknya. Kini, si ayah tetap menggarap
sawah tetapi sebagai buruh tani (mencangkul) yang kadang
berpindah-pindah tempat. Si ibu juga sebagai tukang petik padi yang
kadang diangkut truk bersama kawan-kawannya ke daerah lain yang
kebetulan panen.
Profesi
lain, tidak sedikit mereka yang mengadu nasib mencari pekerjaan di ibu
kota Jakarta. Jumlah pendatang di jakarta dari tahun ke tahun meningkat
dan membuat jakarta kota terpadat. Mereka yang bekerja di Jakarta,
paling cepat pulang ke kampung setiap bulan. Mereka banyak memilih mudik setahun sekali, yaitu di hari lebaran. Dampak
urbanusasi tentu tidak saja menimpa keluarga yang ditinggal, tetapi
menimpa juga masyarakat kota Jakarta. Mereka berangkat kerja dari jam
04.30 saat anak-anak tidur untuk mengindari kemacetan di jalan agar
tidak terlambat. Dan pulang kerja karena macet di jalan sampai di rumah
jam 21.00 saat anak-anak tidur kembali. Tidak ada kehangatan sentuhan
kasih sayang orang tua yang masih sangat dibutuhkan oleh anak-anaknya.
Masih beruntung kalau yang bekerja ayah saja. Tetapi kebanyakan
kedua-duanya, ayah dan ibu kerja. Sehingga urusan anak diserahkan kepada
PRT (Pembantu Rumah Tangga). Sungguh amat tragis pendidikan anak yang
semestinya harus diperhatikan pada saat-saat usia pertumbuhan, malah
diserahkan kepada PRT yang tidak tahu apa-apa.
Bagaimanapun
baiknya PRT, tetap tidak sebaik orang tuanya sendiri dalam berbagai
hal, apalagi dalam hal kasih sayang. Tidak dapat dibayangkan nasib
generasi muda kita di masa yang akan datang, saat orang-orang tua kita
sibuk bekerja, berbisnis. Sementara pengasuhan, bimbingan dan pendidikan
diserahkan kepada PRT. Lebih celaka lagi jika orang tua bekerja di
negeri orang sebagai TKW atau TKI. Anak menderta, terlunta-lunta, ibu
atau ayah yang di rumah karena hasrat seksualnya tidak tersalurkan
terkadang berbuat zina atau kawin lagi tanpa sepengetahuan pasangan
sahnya nan jauh di negeri orang. Lagi-lagi yang menjadi korban adalah
anak-anak kita, generasi bangsa.
Wallahu'alam