Rasulullah
SAW diutus oleh Allah ke dunia ini tak lain untuk mengoptimalkan
akhlaq manusia. Dengan pengoptimalisasian akhlaq tersebut diharapkan
akan tercipta kehidupan yang ideal. Kata akhlaq merupakan bentuk plural
dari khalaqa, kata ini sangat erat sekali dengan makna makhluq.
Manusia sebagai makhluq ciptaan Tuhan tidak bisa dipisahkan dengan
akhlaq sebagai sifat turunan Allah. Keterkaitan antara makhluq sebagai
pelaku dengan akhlaq sebagai sifatnya, sungguh merupakan satuan yang
harus tetap diaktualisasikan.
Tanpa
adanya akhlaq ataupun moral, maka kehancuran negara berdemokrasi
sangatlah memungkinkan. Otoritas kepemerintahan sangatlah rawan dengan
kehancuran dengan ketiadaannya moral. Seorang pemimpin negara diharapkan
mampu mengaktualisasikan segala ultimatumnya dengan nilai moralitas
yang baik. Sebab, proses aktualisasi ini sangatlah mempengaruhi
terciptanya kehidupan masyarakat yang madani.
Moralitas
bukanlah sebuah kata ucapan semata, namun haruslah diaktualisasikan.
Moralitas haruslah bersifat aplikatif, bukan hanya normatif. Normalitas
bukan hanya untuk dipelajari, namun juga untuk dipraktekkan. Hal-hal
seperti inilah yang sering kali terbalik dalam kehidupan nyata di
masyarakat. Pasalnya, banyak sekali dari kita yang hanya mengetahui dan
menyadari pentingnya sebuah moralitas, namun sangat enggan untuk
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Moralitas,
bukan berarti seorang yang berbaju lusuh, kotor dan dekil bermoral
jelek. Justru banyak sekali kita temukan, orang-orang yang berbaju rapi
dan berdasi namun moralnya tak sebanding dengan para petani yang setiap
hari bekerja di sawah. Bagaimana jika seorang president yang selalu di
posisikan dalam “Tut Wuri Handhayani” justru tidaklah bermoral? Tentu
hal ini sangatlah ironis sekali.
Tujuan
dari seluruh agama tidak lain adalah untuk menciptakan masyarakat yang
madani. Pencapaian masyarakat yang madani tentunya harus mengedepankan
adanya HAM. Dengan adanya infiltrasi kebebasan HAM, maka setiap warga
negara dapat mengapresiasikan segala usulannya dalam bentuk yang
demokratis. Maka sebuah ultimatum dari seorang pemimpin negara haruslah
selalau memperhatikan mashlahah ummah. Sehingga, kebijaksanaannya dapat diterima segala lapisan dan tidak membebani pihak-pihak tertentu.
Jika
kita menengok ke arah alirah-aliran agama dalam Islam, maka kita akan
menemukan aliran Syi’ah dan Sunni. Terdapat perbedaan yang siknifikan di
antara keduanya. Aliran Syi’ah sangat mengedepankan Imam sebagai
panutan mereka, segala bentuk memorandum dari seorang imam akan mereka
lakukan. Hal ini sangatlah berbeda dengan Sunni, lalu bagaimana dengan
demokrasi? Akan kah demokrasi selaras dengan ajaran Syi’ah yang selalu
mengedepankan memorandum dari seorang Imam? Ataukah ajaran sunni yang
tidak ada didalamnya konsep imam?
Kemashlahatan
dalam sebuah negara demokratis sungguh sangat kental dan wajib di
kedepankan. Lalu apakah bentuk-bentuk dari sebuah kemashlahatan? Ukuran
dari sebuah kemashlahatan dapat kita lihat dari ada dan tidaknya unsur
lima (Jam’ul Khamsah): yaitu (hifdzun ddin) penjagaan agama, (hifdzun Nafs) penjagaan diri, (hifdzun ‘aql) penjagaan akal, (hifdzun mal) penjagaan harta, dan (hifdzun nasl) penjagaan keturunan.
Ketersediaan
kelima unsur di atas menandakan jalannya sebuah sistem demokratis dalam
negara. Hal ini jugalah yang menjadi parameter moralitas seorang
pemimpin negara, dimana dirinya mampu menghadirkan
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang menjunjung keadilan dan lima unsur
kemashlahatan.
Penulis adalah, Shodiq Adi Winarko