Di kolom agama tersebut hanya dimungkinkan tertulis: Islam, Kristen,
Hindu, Budha, Katolik dan belakangan ini Konghucu. Padahal kenyataan di
masyarakat tidak sedikit orang yang menganut kepercayaan lokal, menganut
kejawen, Sikh, Sinto dan lain sebagainya. Di beberapa negara selain
Indonesia, identitas diri semacam KTP-nya Indonesia sudah tidak
mencantumkan kolom agama.
Kita tentu tahu tokoh kejawen Permadi
yang sering disebut penyambung lidah Bung Karno itu. Pada tahun 2002 dia
menjadi korban diskriminasi soal KTP. Ketika ia hendak menikahkan anak
perempuannya ia dilarang ketua KUA. Permadi dilarang mengawinkan anaknya
karena ia pengikut kejawen. Penulis yakin tidak hanya Permadi seorang
yang mengalami diskriminasi semacam ini, mengingat penganut kepercayaan
lokal, kejawen, Sikh, Sinto dan lainnya cukup banyak.
Tapi ya
begitulah, di Indonesia agama sudah menjadi ketentuan atau konvensi yang
sudah berakar. Dalam banyak ketentuan dan undang-undang, teristimewa
untuk rekruitmen tenaga kerja pun mesti disebutkan agamanya apa. Selain
itu pelayanan publik lantas juga tidak maksimal tatkala mentalitas
pegawainya yang religion oriented. Pelayanan untuk pengurusan
surat-surat di instansi tertentu lantas menjadi ribet dan molor karena
seseorang beragama tertentu dan berbeda dengan pegawai yang melayani.
Ini memang jaman reformasi, tapi yang utama direformasi itu seharusnya
juga cara pandang dan mentalitas orangnya.
Selain diskriminasi di
atas, suatu fakta yang tak dapat ditutup-tutupi, kolom agama dalam KTP
berpotensi menimbulkan konflik horisontal. Ini telah terjadi tidak hanya
di Poso tapi juga di mana-mana. Orang yang dicurigai diminta
menunjukkan KTP. Kalau orang yang bersangkutan beragama sama kadang bisa
aman, tetapi kalau berbeda bisa dibayangkan apa yang akan terjadi
apalagi dalam situasi konflik yang berbau SARA.
Mentalitas
religion oriented ini, entah kenapa telah cukup berakar di sebagian
masyarakat Indonesia. Pergaulan kadang menjadi berjarak ketika seseorang
berbeda agama. Penulis melihat kecenderungan ini. Entah ketika di dalam
negeri maupun di luar negeri, ketika bertemu orang baru yang notabene
berasal dari Indonesia pertanyaan mengenai agama yang saya anut seperti
kok menjadi prioritas pertanyaan.
Bukannya penulis tidak bangga
dengan agama yang penulis anut, tetapi penulis melihat mentalitas
seseorang yang religion oriented itu malah acap kali mengesampingkan
aspek kemanusiaan. Tidak jarang penulis bertemu seorang yang beragama
lain dengan penulis yang tiba-tiba menjadi canggung dan menjaga jarak
ketika tahu agama yang saya anut beda dengan dia, padahal sebelumnya
akrab.
Karena seringnya ketemu seseorang yang lantas
ujung-ujungnya tanya agama, penulis lebih sering menjawab, “this is not
your business”. Untuk kelancaran pelayanan publik menyangkut hak sipil
penulis sebagai warga negara, penulis lebih sering kompromi untuk
memberikan identitas lain seperti Surat Ijin Mengemudi (SIM) atau Kartu
Tanda Mahasiswa (KTM). Di SIM dan KTM jelas-jelas tidak terdapat kolom
agama. Lebih gila lagi seorang teman yang lantas mengisi kolom agama di
KTP dengan agama lain agar bisa masuk dan bekerja di instansi tertentu.
Sekali
lagi penulis tidak malu dengan agama yang penulis anut. Penulis bangga
dengan agama yang penulis anut. Tapi kalau fakta kehadiran KTP yang
mencantumkan kolom agama itu ternyata menjadi bibit diskriminasi,
konflik horisontal, pelayanan publik kurang maksimal dan kemanusiaan
diabaikan, menurut penulis sudah waktunya kolom agama di KTP itu
dihapus. Alasan administrasi kependudukan juga tak bisa menghalangi
desakan penghapusan kolom agama ini. Soal administrasi kependudukan,
asal orang-orangnya di instansi bersangkutan bekerja dengan becus,
sebenarnya kolom agama di KTP tidak diperlukan lagi. Jadi, sebaiknya
kolom agama di KTP itu dihapuskan saja!
oleh : Gendhotwukir, penyair dan jurnalis dari Komunitas Merapi.
Ketika Kolom Agama mau dihapuskan dari KTP
Posted by Marz on
- -
Posted in