Menurut kepercayaan saya dalam agama Islam, batas
antara yang halal dan haram sudah dijelaskan panjang lebar baik itu
dalam kitab suci Al-Qur'an maupun Al-Hadist. Jangankan yang haram,
sesuatu yang samar (tidak jelas halal atau haramnya) pun diperintahkan
untuk dihindari. Lalu siapakah yang lebih pantas untuk menentukan halal
dan haramnya suatu perbuatan atau benda? Dulu kita pernah dikejutkan dengan keluarnya fatwa
MUI tentang haramnya rokok, yang anehnya menurut saya kenapa baru
dikeluarkan akhir-akhir ini? Kenapa tidak dari dulu saja, sejak MUI itu
berdiri? Itu sepengetahuan saya saja.
Meski
jujur saya akui, saya memang seorang perokok dan saya tahu merokok itu
memang merugikan kesehatan sehingga cukup logis bila keluar fatwa haram
tentang merokok tersebut. Saya lebih setuju untuk menyebutnya himbauan
daripada fatwa bahwa itu haram.Lalu
keluar fatwa haram tentang tayangan infotainment, yang senang mengumbar
keburukan atau aib seorang artis ketimbang kebaikannya. Terlebih bila
melihat gaya pembawa acaranya ketika menyajikan berita atau gosip
tersebut.
Menyindir
dan mengungkit-ungkit dan yang paling terbaru saat ini adalah wacana
MUI untuk mengeluarkan fatwa haram tentang penggunaan BBM bersubsidi.
Ini yang sedikit akan saya bahas lebih banyak.
Dari
sedikit contoh hal-hal yang diperdebatkan tentang halal atau tidaknya
diatas, pertanyaannya siapa yang lebih pantas menilai bahwa itu halal
atau haram? Masalah infotainment yang suka menggosip itu jelas,
membicarakan kejelekan orang lain (apalagi di hadapan umum) sangat tidak
pantas.
Itu
jelas-jelas ada dalil (dasar perintahnya) bahwa kita diperintahkan oleh
Rasul untuk menghindari "ghibah" (menggunjing). Bagaimana dengan rokok,
lalu terlebih lagi bagaimana dengan penggunaan BBM bersubsidi bagi
kalangan mampu? Dasar hukum tentang merokok setahu saya tidak ada baik
itu didalam Al-Qur'an maupun Al-Hadist.
Hanya
saja ada suatu dalil yang kita diperintahkan untuk tidak menjerumuskan
diri sendiri ke dalam kehancuran atau kebinasaan. Istilahnya kita tidak
boleh menyiksa diri kita sendiri sehingga kita sengsara bahkan sampai
sakit atau mati. Merokok juga begitu, meski efeknya tidak terlihat untuk
jangka pendek, tapi lambat laun akibatnya akan terasa di kemudian hari.
Itu sama saja
dengan bunuh diri bukan? Apa hukumannya bagi orang yang bunuh diri?
Tentu saja merupakan ahli neraka. Merokok merupakan hal yang samar
(tidak jelas hukumnya, halal atau tidak) yang kita disarankan untuk
menjauhinya. Terakhir adalah penggunaan BBM bersubsidi bagi kalangan
orang mampu.
Apakah
ini halal, atau haram? Kembali lagi ke topik atau judul artikel yang
saya tulis ini : siapakah yang lebih pantas menentukan sesuatu itu halal
atau haram? MUI? Saya bukan bermaksud menjatuhkan lembaga tersebut,
tapi saya tidak ingin nantinya bila fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI
justru membuat orang takut terhadap Islam.
Bahwa
Islam itu agama yang ribet atau kolot, tentu saja tidak! Islam sangat
fleksibel, dinamis mengikuti perkembangan jaman. Yang berhak menentukan
sesuatu itu halal maupun haram hanyalah Allah. Baik itu disebutkan dalam
kitab suci maupun tidak.Maka
dari itu Allah memberikan manusia akal dan pikiran, hati nurani untuk
senantiasa berpikir, merenung, apakah sesuatu itu patut untuk dilabeli
haram atau halal. Itulah hati nurani, perwujudan secara tidak langsung
dari Yang Kuasa, anugerah Illahi. Maka dari itu, untuk menyikapi
berbagai hal yang ada di sekitar kita, baik itu halal atau haram, baik
atau buruk, hati nurani kita sendiri yang menentukan (bila tidak jelas
dasar hukumnya dalam agama).
Seperti
tadi, masalah rokok atau pun tayangan infotainment di televisi, percuma
bila MUI mengeluarkan fatwa bila umatnya sendiri tetap melakukannya.
Kembali ke hati nurani masing-masing dengan berpedoman pada ajaran ilmu
agama tentunya. Terlebih masalah penggunaan BBM bersubsidi bagi kalangan
mampu yang dinilai haram oleh MUI.Tentu
kita masih ingat bagaimana perjalanan dinas perwakilan rakyat ke luar
negeri misalnya? Tidak usah mengambil contoh terlalu jauh, komisi 8
sendiri! Ketika melakukan kunjungan ke Australia dan mengadakan
pertemuan dengan perwakilan mahasiswa Indonesia di sana saja anggota
Komisi 8 sampai tidak tahu ketika ditanya apa alamat email resmi Komisi
8? Atau ketika anggota DPR yang 'berwisata' (melakukan kunjungan kerja)
ke Inggris masih sempat mengunjungi stadion Old Trafford kandang
Manchester United dengan dalih jadwal yang kosong?
Mengapa
tidak sekalian hal tersebut saja difatwakan haram? Bukankah hal
tersebut sudah jelas membuktikan bahwa kunjungan kerja dewan perwakilan
rakyat ke luar negeri merupakan hal yang sia-sia dan memboroskan
anggaran negara? Bukankah hal boros sudah jelas-jelas dilarang oleh
agama? Mengapa bila ada hal kecil yang berkaitan dengan rakyat MUI
terlalu sensitif untuk mengeluarkan fatwa?
Sebaliknya
hal-hal yang berkaitan dengan kalangan elite (konon katanya) tidak
tersentuh sama sekali? Sekali lagi, hati nurani yang menentukan, hati
nurani saya, Anda, mereka, seluruh umat manusia sendiri yang menentukan.
Apakah sesuatu hal itu baik (halal) atau buruk (haram), bukan begitu?